Home » » Riba dlm Islam

Riba dlm Islam

Written By Aflach Perdana Putra on Rabu, 19 Januari 2011 | 20.12

A.     Pengertian Riba
Sepanjang tata bahasa Arab maka yang dimaksud dengan Riba ialah :
Fadlal dan Zubaiddah, artinya kelebihan dan tambahan. Umpamanya: Arba ‘ala khamsin artinya : orang itu membayar lebih dari lima puluh. Dengan demikian maka apabila tidak ada kelebihan atau tambahan pembayaran dan sebagainya bukanlah Riba namanya.
 Al Farra’ mengatakan bahwa kata-kata “Rabiyah” yang terdapat dalam firman Tuhan :
Artinya :
Ialah “Zubaidah” (Tambahan). Umpamanya : Arba itu artinya ialah apabila saya mengambil lebih banyak dari pada apa yang saya berikan.

Dr. Moh. Yusuf Musa, Guru Besar pada Universitas Kairo Mesir, berkata: bahwa arti riba menurut bahasa ialah tambahan. Inilah arti yang dikenal orang Arab. Mereka berjual beli dengan harga yang ditempokan. Apabila sudah datang temponya, maka berkata orang yang menguntungkan kepada orang yang berhutang: “Apakah akan engkau bayar sekarang atau akan engkau tambah pembayaranmu nanti ?” Artinya apabila akan engkau tambah pembayaranmu nanti, maka akan saya tambah tempomu.
Akan tetapi, Fiqih dan Syari’at sudah mengambil arti yang tertentu, yang sudah barang tentu memperhatikan pula arti menurut bahasa ini. Dan Rasul sendiri sudah menunjukkan kepada kita akan arti ini. Maka kita wajib mengikutinya pada waktu kita membicarakan soal Mu’amalah Maliyah, yaitu tambahan pembayaran (yang tidak ada gantinya) dari orang yang berhutang.
Menurut A. Hassan, maka Riba pada Syara’ ialah : “satu tambahan yang diharamkan didalam urusan pinjam-meminjam.
Menurut Dr. H. Kahruddin Junus, Riba itu ialah kelebihan uang dari banyaknya yang diperpinjamkan.
Dalam Ensiklopedi Indonesia ada disebutkan bahwa Riba menurut Syari’at ialah setiap peminjaman uang yang menghasilkan bunga berlipat ganda. Maka riba artinya memungut bunga uang yang berlebih-lebihan.

B.     Praktek Riba
Ketika Ibnu Jarir At-Thabary menafsirkan surat Ali Imran ayat 130 mengatakan : janganlah engkau memakan riba itu berlipat ganda dalam Islam sesudah engkau diberi petunjuk oleh Allah sebagaimana engkau memakannya di masa engkau masih dalam jahiliyah dahulu.
Adalah di masa jahiliyah merka memakan riba, umpamanya seseorang berhutang kepada orang lain dengan perjanjian yang telah ditetukan. Maka manakala sudah cukup tempo itu, datanglah seseorang itu kepada tempat dia berhutang dengan berkata : Berilah saya tempo lagi dan saya tambah hutang saya. Maka keduanya lalu membuat persetujuan itu. Itulah yang dinamakan berlipat ganda yaitu lipat tempo dan lipat pembayarannya, dan itulah yang telah dilarang oleh Allah sesudah mereka masuk Islam.
Dan menurut riwayat Ibnu Jabir dari Ibnu Zaid bahwa ayahnya (Zaid) berkata bahwa sesungguhnya Riba zaman jahiliyah itu adalah berlipat ganda dan berlipat umur. Apabila seseorang mempunyai piutang, maka kalau sudah cukup temponya iapun berkata kepada orang yang berhutang; engkau bayar atau engkau tambah (hutangmu). Kalau tidak ada sesuatu yang dipakai untuk membayarnya maka dipindahkannya kepada umur yang diatasnya. Berhutang unta yang berumur setahun dipindahkan hutangnya kepada yang berumur dua tahun, dan seretrusnya. Dan kalau berhutang mata uang, maka kalau tidak ada sesuatu yang dipakai untuk membayarnya ditempokan setahun berikutnya dan ditambahi hutangnya itu. Kalau hutangnya seratus, dibayar tahun berikutnya menjadi dua ratus, dan begitu seterusnya. Maka inilah yang dimaksud dengan firman Allah : Janganlah engkau memakan Riba itu berlipat ganda.
(Praktek-praktek) riba adalah penyakit masyarakat yang hanya dapat diperbaiki dan dibersihkan kalau masyarakat itu sudah ada. Tugas pertama pada permulaan Islam ialah melahirkan masyarakat Islam. Sesudah masyarakat Islam itu ada dan sudah mempunyai kekuatan yang cukup dalam segala lapangan, barulah pemberantasan masyarakat itu dilancarkan. Oleh sebab itu pula maka bagian pertama dari ayat-ayat Riba dalam surat Makiyah itu soal riba surat-surat Madaniyah yang bertarikh akhir sekali turunnya.
Mengenai (praktek) “Riba Fadlal”, Syekh Moh. Abduh mengatakan bahwa apabila ia itu termasuk Riba yang sudah di nash oleh Al-Qur'an yang tidak boleh diragui lagi, maka niscaya tidak akan terjadi perselisihan. Pada  hal para sahabat dan para Fuqaha  telah berselisih pendapat didalam masalah ini. Diantaranya ialah Ibnul Qayyaim yang memperbolehkan menjual emas hiasan dengan sesamanya dengan tidak disyaratkan sama timbangannya. Dan sesungguhnya (praktek) “Riba Fadlal” itu diharamkan hanya untuk menutup pinta ke arah (praktek) “Riba Nasi’ah”, bukan karena keadaannya sendiri. Dan sesuatu yang diharamkan hanya untuk menutup pintu itu diperbolehkan menjalankannya untuk kemaslahatan. Diantara sahabat tabi’in yang memperbolehkan (praktek) “Riba Fadlal” dengan mutlak ialah Ibnu Umar (ada riwayat bahwa beliau sudah menarik fatwanya), Ibnu Abbas diperselisihkan tentang menarik pendapatnya, Usamah Ibnu Zaid, Ibnu Zubair Zaid Arqam, Saied Ibnu Mutsayyab dan Urwah Ibnu Zubair.
Mereka berpegang (pada) dalil hadis :
إنما الربافى النسئة
“Sesungguhnya Riba itu pada yang bertempoh”. Maka apabila praktek “Riba Fadlal” itu (sama) seperti (praktek) “Riba Nasi’ah” niscaya tidak terjadi perselisihan antara para sahabat dan tabi’in seperti itu.

C.     Dasar Hukum Pelarangan Riba
Dasar hukum yang menyatakan bahwa Riba itu terlarang memungtnya atau haram hukumnya, terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW.
Dasar hukumnya menurut Al-Qur'an adalah terdapat pada ayat-ayat berikut :

  1. Surat Al-Baqarah ayat 275-280, bunyinya sebagai berikut :
Artinya :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.

  1. Surat Ar-Rum ayat 39, bunyinya sebagai berikut :
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃Ìè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$#    ( الروم : 39)
Artinya :
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

  1. Surat Ali Imron ayat 130-131, yang berbunyi sebagai berikut :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ (#qà)¨?$#ur u$¨Z9$# ûÓÉL©9$# ôN£Ïãé& tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9  (ال عمران130-131)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.

Hadits-hadits Rasulullah SAW mengenai Riba ini banyak juga dijumpai, sebagian memberi dasar hukum bagi pelarangan Riba dan sebagian menjelaskan saja sifatnya.
Hadits-hadits yang menjadi dasar hukum bagi pelanggaran Riba adalah seperti berikutnya :
a)      Hadist yang diriwayatkan dari “Amer bin Al Ahwash, bahwa dia ini, turut di dalam hajji Wada’ bersama Rasulullah SAW. Di dalam khutbah beliau di Mina (Khutbah Wada’) yang terkenal itu beliau bersabda :
كل الربا فى الجاهلية موضوع لكم رءوس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون. وأول ربا موضوع ربا العباس.
Artinya :
Ketahuilah bahwa (mulai saat) ini segala macam Riba Jahiliyah tidak berlaku lagi (telah dilarang) : modal asalmu boleh kamu ambil, kamu tidak dianiayah dan tidak menganiaya, dan Riba yang mula-mula sekali ditinggalkan ialah Riba Abbas.

b)      Dasar hukum selanjutnya ialah hadits yang diriwayatkan dari Jabir sebagai berikut :
عن جابر، لعن رسول الله اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه. (رواه مسلم)
Artinya :
Dari Jabir r.a. : Telah melaknati (menutuki) Rasulullah SAW akan orang yang memakan riba, orang yang berwakil padanya, penulisnya dan dua saksinya. (diriwayatkan oleh Muslim)

D.    Macam-Macam Riba
Menurut pendapat setengah Ulama, riba itu adalah empat bagian/ macam :
1.        Riba Fadlhli (menukarkan dua barang yang sejenis tetapi tidak sama kwalitasnya)
2.        Riba Qardhi (meminjamkan dengan syarat ada keuntungan bagi yang mempiutangi)
3.        Riba Yadh (bercerai dari tempat aqad sebelum timbang terima)
4.        Riba Nasa’ (Nasi’ah), yaitu riba yang terjadi karena adanya penundaan waktu pembayaran, dengan menetapkan adanya dua harga yaitu harga kontan atau harga yang dinaikan karena pembayaran tertunda.
Pada umumnya, ulama membagi riba itu atas tiga bagian saja, yaitu : Riba Fadlhli, Riba Yadh dan Riba Nasa’ (adapun) Riba Qardhi termasuk Riba Nasa’.
Drs. Husein Ahmad, mengemukakan bahwa Riba ada tiga macam, yakni : Riba Fadhal, Riba Nasi’ah dan Riba Yadh.
Ulama’ ahli Fiqh membagi Riba menjadi dua macam, yaitu, yaitu Riba Nasi’ah dan Riba Fadhal. Riba Nasi’ah iala riba Jahiliyah, riba bertempo, yaitu tambahan pembayaran kembali sebagai ganti penundaan waktu pembayarannya. Orang berhutang kepada orang lain dalam waktu sebulan (umpamanya) harus sudah dikembalikan.
Manakalah sudah cukup tempo itu, maka orang yang berhutang datang kepada orang yang menghutangi karena belum dapat membayar kembali hutangnya, katanya : Berilah saya tempo lagi dan saya tambah hutang saya. Tambahan hutang itu minimum 40% dan maximum 100%.
Riba Fadhal ialah tambahan yang diperoleh oleh seseorang sebagai hasil pertukaran dua barang yang sejenis, umpamanya pertukaran antara 1 gram emas dengan 2 gram emas pula. Kelebihan 1 gram emas yang dipertukarkan itulah Riba Fadhal.
Menurut Prof. Dr. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Riba ada dua macam, yaitu Riba Jahiliyah dan Riba Fadhal.
Riba Jahiliyah ialah Riba Nasi’ah. Arti nasi’ah ialah pertangguhan atau perlambatan. Pemberi hutang senang sekali jika yang berhutang memperlambat masa pembayaran, supaya bunganya dapat berlipat. Hutang 100 karena diperlambat menjadi wajib bayar 200. kalau diperlambat juga menjadi 300 karena diperlambatnya. Maka keuntungan yang diperdapat oleh si pemberi hutang itu ialah apabila bertambah lama pembayaran, sehingga ia menjadi Adh’afan Mudha’afah, berlipat ganda. Inilah suatu pemerasan yang luar biasa kejamnya. Yang kerja keras membanting tulang ia yang berhutang, sedang yang memberi piutang menerima bunga lipat ganda dalam duduk senang-senang.
Selanjutnya dalam menerangkan Riba Jahiliyah ini, Prof. Dr. Hamka berkata :
Di misalkan si A sangat mendesak, entah hendak berniaga, entah hendak bercocok tanam, bertanya tidak ada, lalu dia pergi meinjamkan modal kepada yang mampu. Misalkan Rp. 1000,- berjanji dibayar dalam setahun. Setelah genap setahun, karena berjanji dibayar dalam setahun. Setelah genap setahun, karena uang pembayaran itu tidak cukup, maka datanglah yang berhutang itu kepada yang berpiutang menerangkan bahwa ia belum sanggup membayar sekarang.  Maka yang punya uang berkata, bolehlah engkau bayar tahun depan saja asal lipat dua, hutang seribu menjadi dua ribu rupiah kalau belum bayar juga terbayar tahun itu, sehingga minta tangguh tahun lagi, boleh juga, asal hutang yang Rp. 2000,- menjadi 4000,-. Akibatnya bukanlah membantu, bukan memberi waktu, melainkan mencekik leher si melarat tadi, sehingga walaupun bagaimana membuat dia melarat tadi, sehingga walaupun bagaimana dia mengangsur hutang, namun sisa yang tinggal bertambah membuat dia melarat. Kadang-kadanga harta bendanya yang ada habis sama sekali, bahkan sampai matinya menjadi hutang pula kepada keluarganya yang tinggal.
Inilah gambaran dari Riba Jahiliyah itu, yang dikenal namanya dengan riba Nasiah atau riba memberi tempo! Yaitu memberi tempo, bukan melapangi bagi si berhutang, tetapi memperkaya bagi yang berpiutang dan membuat melarat yang dipiutangi. Diperpanjang tempo tetapi dipersempit bagi yang berhutang.
Slanjutnya menurut Prof. Hamka, RibaFadhal yaitu segala pembayaran yang dilebihi oleh yang membayar lebih banyak dari pada ukuran atau timbangan barang yang dipertukarkan. Misalnya hutang 10 dibayar 11, hutang satu karung beras dibayar satu setengah karung dan seterusnya. Sebab cara yang demikian itu juga termasuk pemerasan, tidak lagi pertolongan.
Menurut Prof. Hamka, barang siapa berbuat Riba Nasiah, bersedialah menerima ultimatm perang dari Allah dan Rasul. Adapun Riba Fadhal, dipandang haram ialah sebagai Saddunlidz dzari’ah, artinya menutup pintu bahaya yang lebih besar. Menjaga jangan ada yang dianiayah dan jangan ada yang menganiaya.
Di dalam Al-Qur'an dan terjemahnya, keluaran Departemen Agama Republik Indonesia disebutkan bahwa Riba itu ada dua macam: Nasiah dan Fadhal. Riba Nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba Fadhal ialah pertukaran labih dari satu barang sejenis yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan seperti mas perak, gandum, beras, garam.
Ibnu Qayyim membagi Riba menjadi “Riba Jaly” dan “Riba Khafy”. Dimaksudkan dengan riba Jaly ialah Nasiah dan dimaksudkan dengan Riba Khafy ialah Riba Fadhal.
Kata beliau selanjutnya, bahwa Riba Jaly itu diharamkan karena mengandung bahaya yang besar. Dan Riba Khafy diharamkan karena ia merupakan sebab atau perantara kepada Riba Jaly. Maka diharamkan Riba Jaly itu sebagai tujuan, dan diharamkannya pembagian di atas ialah pembagian menurut Syekh Moh. Abu Zahra, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Kairo. Beliau membagi riba menjadi tiga macam, yaitu Riba Fadhal, Riba Nasa dan Riba Nasiah. Riba Fadhal ialah tambahan antara salah satu dari dua benda penukar yang sejenis, manakalah diwajibkan sebanding. Riba Nasa, baik sejenis atau tidak, manakalah diwajibkan tunai. Riba Nasiah ialah tambahan jumlah hutang sebagai ganti perpanjangan waktu membayarnya.
Syekh Mustafa Al-Maraghi mengatakan bahwa riba itu ada dua macam yaitu Riba Nasaih dan Riba Fadhal. Riba Nasiah tambahannya menurut kebiasaan pada waktu itu (zaman jahiliyah) ialah maksimum 40% dan maximum 100%.
Menurut Imam As Syafi’y, Riba itu ada tiga macam :
  1. Riba Faddhi, masuk dalam riba ini riba ini Riba Qardhi : yaitu riba dengan memberi bunga utang atau memberikan janji sesuatu.
  2. Riba Nasiah
  3. Riba yadh yaitu menjual dengan pembayaran barang yang sejenis, tapi tidak kontan.

E.     Hikmah Dilarangnya Riba
Allah mengharamkan riba tentu banyak hikmahnya, antara lain :
1.      Riba dapat mengikis sifat belas kasih dan rasa kemanusiaan serta dapat menimbulkan permusuhan antar sesama manusia.
2.      Riba dapat memupuk sifat enak sendiri, mementingkan diri sendiri dan memperkaya diri tanpa upaya yang wajar dan rela melihat orang lain menderita.
3.      Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan manusia terhadap manusia lainnya.


BAB III
KESIMPULAN


Ditinjau dari berbagai penjelasan yang kami paparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.     Riba adalah sesuatu bentuk tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan sebagai syarat terjadinya transaksi hutang piutang atau pinjam meminjam.
2.     Dasar hukum pelanggaran riba diantaranya :
-         QS. Al-Baqarah ayat 275-280
-         QS. Ar-Rum ayat 39
-         QS. Ali Imran ayat 130-131
3.     Macam-macam riba ada 4, yaitu :
a)      Riba Fadli (menukarkan dua barang yang sejenis tapi kwalitas berbeda)
b)      Riba Qardhi (meminjamkan dengan ada syarat bagi yang mempiutangi)
c)      Riba Yadh (bercerai dari tempat aqad sebelum timbang terima)
d)      Riba Nasa’ (Nasiah) yaitu riba yang terjadi karena adanya penundaan waktu pembayaran, dengan menetapkan adanya dua harga yaitu harga kontan atau harga yang dinaikan karena pembayaran tertunda


DAFTAR PUSTAKA



Chottib. Bank dalam Islam. (Jakarta : Bulan Bintang, 1962)
Hassan, A.  Kitab Ribaa. (Bandung : Persatan Islam, 1932)
Yunus, Kahruddin. Sistem Ekonomi Menurut Islam. (Jakarta : Fikiran Baru, 1955)
Rosyid, Sulaiman. Fiqh Islam. (Jakarta : At-Thahiriyah)
Hamka. Tafsir Al-Azhar. (Jakarta: Pembimbing Masa, 1968)



DAFTAR ISI



HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB  I        : PENDAHULUAN ..................................................................... ....... 1
A.     Latar Belakang ..................................................................... ....... 1
B.     Rumusan Masalah ................................................................ ....... 1
C.     Tujuan Pembahasan .............................................................. ....... 1

BAB II        :  PEMBAHASAN ....................................................................... ....... 2
A.     Pengertian Riba .................................................................... ....... 2
B.     Praktek Riba ........................................................................ ....... 3
C.     Dasar Hukum Pelarangan Riba ............................................. ....... 4
D.     Macam-Macam Riba ........................................................... ....... 7
E.      Hikmah Dilarangnya Riba ..................................................... ..... 10

BAB III      :  KESIMPULAN ......................................................................... ..... 11

DAFTAR PUSTAKA


ii
 
 
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. GUS AFLACH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger