Home » » PERKAWINAN CAMPURAN

PERKAWINAN CAMPURAN

Written By Aflach Perdana Putra on Rabu, 19 Januari 2011 | 20.26


PERKAWINAN CAMPURAN

A.     Pengertian Perkawinan Campuran
Dalam RUUP yang diakukan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas, termuat rancangan rumusan dan ketentuan-ketentuan tentang perkawinan campuran dalam Bab XIII Bagian Keempat[1]. Dalam RUUP Pasal 64 dirumuskan pengertian perkawinan campuran sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak warga negara Indonesia”. Selanjutnya dirumuskan Pasal 64 berbunyi: “Dengan demikian di Indonesia hanya dikenal perkawinan campuran karena perbedaan kewarganegaraan”

B.     Pengaturan Perkawinan Campuran
UUP memakai istilah “perkawinan campuran”: dalam Bab XII Bagian Ketiga, dengan pengertian sebagai tertuang dalam Pasal 57. Sesuai dengan UUD 1945 (Pembukaan alinea keempat, kebebasan beragama sebagai tercantum dalam Pasal 29 ayat (2), adanya pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka perkawinan campuran dalam negara berdasar Pancasila disebabkan oleh bertemunya dua atau lebih sistem hukum perkawinan yang berlainan. Kemudian keberlainannya hukum perkawinan tersebut dapat disebabkan oleh berlainan kewarganegaraan akibat ada unsur asing atau berlainan hukum perkawinan agama akibat pasangan pengantin masing-masing menganut agama yang berbeda. Disebut “perkawinan campuran” atau “perkawinan campur”, atau “kawin campur”[2] karena “bercampurnya” atau “bertemunya” dua sistem hukum yang berlainan. Jadi, yang menjadi masalah adanya dua atau lebih sistem hukum perkawinan yang berlainan.[3]
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan campuran secara tersendiri. Terinci sampai pelaksanaan dan pencatatan serta akibat hukumnya. Ketentuan tersebut dilengkapi dengan peraturan hukum lama yang masih berlaku sebagaimana ditentukan oleh Pasal 66.[4] Dengan adanya ketentuan UUP dan peraturan pelaksanaannya, maka ketentuan peraturan perkawinan campuran lama (GHR) dinyatakan tidak berlaku sejauh UUP atau peraturan pelaksanaannya telah mengatur.
Oleh karena itu, tidak ada gambaran bahwa pengaturan UUP tentang PC tidak lengkap dan masih memerlukan Undang-Undang lain atau peraturan pelaksanaan. Artinya, UUP sebagai pengganti peraturan perundangan lama memuat pengaturan yang lengkap, karenanya tidak ada vakum hukum. Dalam kerangka sosialisasi UUP, berlaku peraturan lama sepanjang hal tersebut diatur olehnya dan oleh peraturan pelaksanaannya (Pasal 66 UUP jo. Pasal 47 PP Nomor 9 Tahun 1975). Kedua ketentuan tersebut menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan hukum lama tidak berlaku lagi sepanjang materi hukumnya telah diatur oleh UUP dan oleh peraturan pelaksanaannya. Sedang yang belum diatur oleh UUP dan peraturan pelaksanaannya masih berlaku. Dengan demikian, tidak ada vakum hukum, tidak perlu pengaturan tersendiri ataupun memberlakukan seluruh pasal GHR produk peraturan perundangan kolonial Belanda.
Pengaturan perkawinan campuran dalam Pasal 57 sampai dengan pasal 62 UUP tersebut merupakan satu kesatuan sistematika dalam sistem hukum perkawinan nasional. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum agama. Dengan demikian, di Indonesia terdapat pluralitas hukum perkawinan.[5] Hal tersebut mengharuskan negara mengatur perkawinan campuran HATAH intern, yang mengatur perkawinan campuran antara orang Indonesia yang berbeda hukum perkawinannya. Di samping mengatur perkawinan campuran antara WNI dengan WNA.
Dari segi pengaturan ketentuan Pasal 66 UUP menimbulkan pertanyaan: Apakah ketentuan hukum yang tidak berlaku lagi itu hanya ketentuan tentang perkawinan saja, atau termasuk ketentuan tentang hal lain tentang putusnya perkawinan dan alasan perceraian? Tentang putusnya perkawinan ada dua pendapat.
Pendapat pertama, menyatakan bahwa UUP menyatakan bahwa UUP bermaksud menggantikan hukum perkawinan penjajah Belanda, bentuk-bentuk putusnya perkawinan dalam BW, HOCI dan lain-lain tidak berlaku lagi.[6] Pendapat kedua, menyatakan bahwa harus diakui bahwa UUP memerlukan pengembangan kelembagaan dengan memakai asas “kemanfaatan”. Demikian pula tentang alasan perceraian.[7] Dalam kaitannya dengan perkawinan campuran, karena rumusan Pasal 66 UUP, maka selayaknya dilakukan studi perbandingan antara UUP (khususnya ketentuan Bab XII Bagian Ketiga Perkawinan Campuran) dengan GHR (S. 1898 No. 158). Dari pengkajian perbandingan dapat ditegaskan bahwa Pasal 6 GHR yang mengatur tata cara pelaksanaan perkawinan campuran, belum diatur oleh UUP dan peraturan pelaksanaannya. Sehingga (dalam rangka pelaksanaan UUP) Pasal 6 GHR masih berlaku. Dalam UUP, proses pelaksanaan perkawinan campuran diatur dalam Pasal 60 yang kurang tegas. Karena UUP tidak menentukan, maka atas dasar ketentuan Pasal 66 UUP, pelangsungan perkawinan campuran masih tetap didasarkan atas ketentuan Pasal 6 GHR, dalam rangka mengatasi problem perkawinan campuran sesama WNI sebagai masalah HATAH intern Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang “Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam” dan keputusan Menteri Agama No. 4 Tahun 1975 tentang Model Surat/Akta sebagai Sarana Proses Pencatatan dan Bukti Nikah. Ketentuan pasal 2 ayat (1) dan Bab XII Bagian Ketiga tentang Perkawinan Campuran. Hal tersebut akan terlihat pada praktek dan pelaksanaan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda yang dibicarakan dalam Bab VI.
Adanya pluralitas di bidang hukum perkawinan berarti adanya pluralitas hukum di bidang putusnya perkawinan; dan pluralitas dalam peradilan. Pluralitas hukum materiil berkembang menjadi pluralitas hukum formal, pluralitas administrasi pelayanan kehidupan kekeluargaan dan instansi pelayanan hukum dan penegakan hukum.

C.     Proses Pelaksanaan Perkawinan Campuran
Proses pelaksanaan perkawinan campuran diatur dalam Pasal 60. Tentang pelangsungannya UUP tidak menentukan secara tegas, maka atas dasar ketentuan Pasal 66 berlaku ketentuan Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR). Untuk mengatasi problem perkawinan campuran sesama WNI sebagai masalah HATAH intern Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang “Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam” dan keputusan Menteri Agama No. 4 Tahun 1975 tentang Model Surat/Akta sebagai Sarana Proses Pencatatan dan Bukti Nikah. Ketentuan tentang pelaksanaan perkawinan campuran dan pencatatannya, berhubungan dengan kewenangan absolut badan peradilan (Pasal 63 ayat 1 UUP jo. Pasal 1 PP No. 9 Tahun 1975). PA dan PN mempunyai kewajiban dan kewenangan sebagai ditentukan Pasal 60 ayat 3, 4, dan 5. Pasal 60 (3) UUP menghapus Pasal 8 (1) GHR.

D.    Sanksi Pelanggaran Proses Pelaksanaan Perkawinan Campuran
UUP menentukan: (1) proses pelaksanaan perkawinan campuran (Pasal 60 ayat 1); (2) pencatatan perkawinan campuran dilaksanakan oleh pegawai pencatat yang berwenang (Pasal 61 ayat 1 jo. GHR Pasal 6 ayat 1, 2, 3 ; (3) sanksi pelanggaran terhadap pejabat pencatat (PPN pada KUA dan KCS) dengan hukuman jabatan dan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan (Pasal 61 ayat 3) dan hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan bagi pengantin yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan proses pelaksanaan perkawinan campuran.
Di Indonesia terdapat dua instansi yang berwenang mencatat perkawinan dan perceraian yang tugasnya ditentukan secara pasti. UUP memberikan sanksi yang keras terhadap pelanggaran ketentuan pencatatan perkawinan campuran. Ketentuan tentang sanksi pelanggaran proses perkawinan campuran berisi ancaman terhadap PPN pada KUA dan KCS dengan maksud agar selalu tercipta suasana saling menghormati dan koordinasi dalam melaksanakan tugas. Sedang sanksi terhadap pengantin berfungsi untuk menjaga stabilitas masyarakat agar hidup dalam suasana kebersamaan yang rukun. Ketentuan tentang sanksi ini merupakan upaya untuk menciptakan ketenteraman hukum dan administrasi negara disebabkan adanya perbedaan instansi pemberi pelayanan hukum perkawinan. Di samping sanksi tersebut, Pasal 45 PP. No. 9 Tahun 1975 menentukan sanksi pula terhadap perkawinan campuran. Ketentuan tentang sanksi ini secara keseluruhan merupakan upaya untuk menciptakan ketenteraman hukum dan kerukunan kehidupan umat beragama di Indonesia.


KESIMPULAN

UUP bagi masyarakat Indonesia merupakan tertib hukum baru yang beraspek nasional dan internasional. UUP meletakkan “asas-asas hukum perkawinan nasional” sehingga merupakan suatu sistem hukum. UUP juga mengatur hubungan perkawinan internasional yang terjadi di Indonesia atau di luar Indonesia (khususnya bagi warga negara Indonesia). Pembentukan UUP tidak terlepas dari kenyataan sosial dalam masyarakat tempat Undang-Undang terbentuk dan diberlakukan. Keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat berpengaruh terhadap pembentukan UUP (dalam materi hukum dan prosesnya). Keabsahan perkawinan tidak dilihat dari segi formalitas pencatatan, namun dilihat dari segi ketentuan hukum agama.
Hukum-hukum agama telah menentukan norma pokok kesahan perkawinan. Dalam hukum Islam, keabsahan perkawinan digantungkan dengan tercukupinya syarat dan rukun perkawinan. Sedang pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administrasi negara. Hal tersebut telah lama berlaku sebelum Indonesia merdeka. Pencatatan perkawinan bukanlah esensial dalam hukum perkawinan Islam. Pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam mendapat perhatian dengan terbitnya UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) jo. UU Nomor 32 Tahun 1954.






DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Ichtijanto, SA., SH, Apu. Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia”  Penerbit Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. 2003


[1] Dalam UUP, “hukum yang berlainan” tersebut dapat disebabkan antara lain oleh: (1) perbedaan agama, atau; (2) perbedaan kewarganegaraan
[2]  Azhar Basyir, Ahmad, Kawin Campur, Adopsi, wasiat menurut Hukum islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1972)
[3]  Karena itu, dalam rangka pembicaraan tentang UUP, istilah “perkawinan antar agama” dan “perkawinan antar keyakinan” tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Dalam UUP yang dilihat adalah “hukum perkawinan”-nya. Tentang sebab adanya perbedaan hukum adalah masalah lain.
[4]  Ketentuan yang memberlakukan ketentuan hukum lama, diatur pula oleh peraturan pelaksanaannya (Pasal 47 PP No. 9 Tahun 1975)
[5]  Artinya, tiap pasal dan unsur yang ada di dalamnya bersifat saling terkait dalam kesatuan. Pengertian PC (Pasal 57) berkaitan dengan ketentuan tentang persyaratan (Pasal 60 ayat (1)-(5), dengan pencatatan perkawinan (Pasal 61 ayat 1), dengan sanksi pelanggaran bagi pengantin (Pasal 61 ayat 2) dan sanksi bagi pejabat pencatat nikah (Pasal 61 ayat 3) dan kedudukan anak hasil PC (Pasal 62) serta akibat hukum PC di bidang kewarganegaraan (Pasal 58 dan 59). Soal kewarganegaraan adalah salah satu akibat hukum yang diatur dalam UUP; bahkan soal ini telah diatur dalam UU tentang Kewarganegaraan (UU Nomor 62 Tahun 1958).
[6]  Pluralitas hukum perkawinan sebelum adanya UUP, ditegaskan oleh penjelasan UUP
[7]  Dari segi sejarahnya, RUUP banyak mengambil dari peraturan yang dicabut. Tentang alasan perceraian, diketahui bahwa “alasan-alasan tersebut dalam sub a sampai dengan sub d diintrodusir dari BW (Pasal 209 BW). Sedangkan sub e mengambil alih dari hukum islam. Dan yang terakhir sub f diintroduksi dari Pasal 2 HOCI”. Lihat, Soetojo, R, Pemutusan dan pembubaran Perkawinan karena Perceraian, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, No. 1 Tahun IV, Januari-Februaru 1989, hal. 38
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. GUS AFLACH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger