Home » » MAQASID AL-SHARI’AH

MAQASID AL-SHARI’AH

Written By Aflach Perdana Putra on Rabu, 19 Januari 2011 | 19.53


MENIMBANG PEMIKIRAN EKONOMI TAQYUDIN AL-NABHANI
DENGAN KONSEP MAQASID AL-SHARI’AH
 A.      LATAR BELAKANG
Realitas peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi. Ia merupakan elan fital kehidupan manusia.  karena itu Islam sangat memperhatikan aspek ini, dengan menurunkan teks-teks baik al-Qur’an maupun Hadits yang berkaitan dengan aktifitas ekonomi. Teks tersebut adakalanya mendorong umat untuk tujuan dalam aktifitas ekonomi dan adakalanya berupa rambu-rambu dan peraturan yang mengatur aktifitas perekonomian agar dalam perjalanannya, manusia selamat dan sukses dalam meraih tujuan hidupnya tanpa ada penyimpangan dan kerugian yang menimpa dirinya, masyarakat maupun lingkungannya.
Selama beberapa abad, dunia Islam berhasil mencapai kemajuan dan menjadi pusat peradaban dunia. Namun pada saat Eropa bangkit pada awal periode modern (abad 15 dan 16 M), dunia Islam mengalami kemunduran (inkhitat) untuk beberapa abad lamanya. Umat Islam mengalami kemerosotan di segala bidang. Dibidang politik, mayoritas dunia Islam berada di bawah penjajahan barat, yang berakibat kemunduran ekonomi, politik, pendidikan dan sosial-budaya.
Pada awal abad ke-19 mulai muncul upaya kebangkitan Islam yang secara umum, hal ini karena dua alasan penting:, pertama, Stagnasi yang ada di pemerintah pusat (kekhalifahan) dan kegagalannya untuk modernisasi masyarakat sebelum kebangkitan Eropa; Kedua, ekspansi Eropa ke dunia Islam. Kolonialisasi Eropa atas dunia Islam merefleksikan stagnasi dunia Islam dan kekuatan model sosial ekonomi Eropa.[1] Dunia muslim pusing, bingung dan cemas atas realitas ini yang direfleksikan oleh para intelektual muslim dalam tulisan dan perjuangan politik. Namun upaya kebangkitan ini gagal menyelamatkan dunia Islam dari keterpurukan, bahkan kekhalifahan Turki Uthmani, sebagai representasi kekuatan politik dunia Islam, mengalami kekalahan pada Perang Dunia Pertama dan berakhir pada runtuhnya khalifah pada tahun 1924 M.
            Dua permasalahan mendasar tersebut (kemunduran dunia islam dan kolonialisasi) direspon secara beragam oleh dunia Islam.  Menurut Abu Rabi’ secara keseluruhan ada tiga model gerakan yang merespon, yaitu modernisasi, nasionalisme dan revivalisme agama.[2]
1.    Modernisasi
Ancaman Eropa terhadap imperium Turki Usmani pada abad ke 19 M mendorong pemerintah pusat untuk melakukan program modernisasi yang dikenal dengan nama Tanzimat,[3] yang dimulai pada awal abad ke 19. Pemerintah mengadopsi Tanzimat ini untuk dijadikan kebijakan modernisasi secara top-down. Walaupun didukung oleh elit politik, militer dan ulama’, program ini tidak bisa menyelamatkan imperium Turki Usmani dari kehancuran pasca perang dunia pertama. Sebelum kerajaan hancur, muncul kelompok intelektual sekuler yang mengadopsi westernisasi. Mereka beranggapan bahwa satu-satunya solusi untuk menyelamatkan Turki adalah dengan memahami nasionalisme, sekulerisme dan kemajuan.
Kaum modernis Islam menganjurkan penafsiran ulang atas Islam atau atas teks-teks keislaman secara fleksibel dan berkelanjutan sehingga dapat mengembangkan institusi pendidikan, politik, ekonomi dan sosial budaya  yang sesuai dengan kondisi modern. kaum ini berpendapat bahwa kemunduran umat Islam karena ketertinggalan dalam bidang-bidang pendidikan, politik, teknologi dan lainnya dari pembangunan modern Barat. Sehingga modernisasi adalah suatu keharusan untuk kemajuan umat Islam.[4]
2.    Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang artinya sekelompok orang yang hidup pada wilayah tertentu yang mempunyai kesamaan budaya, asal-usul, sejarah dan bahasa, atau antara mereka tersambung dengan bahasa yang sama. Karena itu nasionalisme adalah kepercayaan atau aliran yang mempersembahkan segala upaya untuk kepentingan nasional, atau ia adalah kepercayaan bahwa memperjuangkan tujuan-tujuan yang bersifat nasional akan lebih efektif dan bermanfaat daripada memperjuangkan tujuan-tujuan secara internasional. [5]
Nasionalisme di dunia Islam, di satu sisi, muncul sebagai gerakan perjuangan melawan kolonialisme Barat atas nama kesatuan bangsa masyarakat modern yang tidak ingin berada di bawah kekuasaan dan kendali bangsa lain. Dalam hal ini, mereka, para nasionalis di dunia Islam, tidak mengusung agama sebagai slogan perjuangan. Tokoh seperti Soekarno di Indonesia, Kemal Attaturk di Turki dan Gamal Abd Nasser di Mesir mewakili trend ini.
Di sisi yang lain, gerakan nasionalisme juga melahirkan negara-negara yang berdasar atas dasar kebangsaan atau kesukuan di wilayah kekuasaan Turki Usmani, sehingga turut berperan dalam melemahkan pemerintah pusat. Gerakan nasionalisme Arab – misalnya – yang diusung oleh sebagian pemikir Arab berjuang untuk memerdekakan Arab dari kekuasaan Turki Usmani yang dianggap gagal. Dalam hal ini para pemikir nasionalisme tidak memikirkan secara totalitas sebagai bagian dari kekuasaan Turki yang merepresentasikan politik Islam sehingga dalam kondisi krisis tidak berfikir untuk menyelamatkan Turki Usmani secara keseluruhan, tetapi memperjuangkan kepentingan bangsa Arab semata. Begitu juga nasionalisme Turki dibawah Kemal Attaturk. Dengan kata lain, kaum nasionalis menomorsatukan kesatuan kebangsaannya daripada kesatuan aqidah yang dibangun oleh imperium Turki. Bahkan mereka berperang dengan sesama muslim atas dasar nasionalisme.[6]
Gerakan nasionalisme di dunia Islam tidak hanya berhenti pada nasionalisme besar great nationalism (wataniyah), tapi terus merangsek menuju nasionalisme yang lebih kecil (qawmiyah). Gerakan-gerakan qawmiyah di dunia Islam telah melahirkan perpecahan negara menjadi dua negara atau lebih. Misalnya Suria memisahkan diri dari Mesir yang kemudian diikuti oleh Sudan, sehingga satu negara terpecah menjadi tiga: Suria, Mesir dan Sudan.
3.    Revivalisme
Ihya’ (menghidupkan kembali) dan tajdid (pembaharuan) adalah dua kata kunci dalam revivalisme Islam yang sering digunakan pada konteks pergerakan modern Islam, walaupun ia punya akar yang penting dalam sejarah Islam. Menurut penganut paham ini, Islam bukanlah masalah, dalam arti bahwa kemunduran dan stagnasi dunia Islam bukan disebabkan oleh Islam, bahkan sebaliknya Islam adalah solusi. Kemunduran dan stagnasi yang terjadi di dunia Islam lebih disebabkan karena umat islam tidak mau berpegang teguh kepada ajaran islam. Karena itu mereka menyeru untuk kembali kepada Islam.[7]
Secara umum, para revivalis Islam atau kaum gerakan Islam (harakah islamiyah) berkeyakinan bahwa keterpurukan umat islam disegala bidang disebabkan terutama oleh penyelewengan Al-manhaj al-islami dalam realitas kehidupan. Terutama penyelewengan yang dilakukan oleh elit penguasa dan kebijakan pembangunan di dunia Islam pasca kemerdekaan yang berkiblat ke Barat. Mereka beranggapan bahwa solusi-solusi yang diimport (al-hulul al-mustawradah) oleh penguasa yang ter-barat-kan dalam upaya mengatasi kemunduran dunia Islam tidak berhasil, bahkan membuat dunia Islam semakin terpuruk dan terpecah belah.[8]
Dalam bidang politik, mereka menganggap bahwa demokrasi liberal yang diadopsi oleh dunia Islam dari Barat telah gagal membawa dunia islam ke arah yang lebih baik. Begitu juga kebijakan ekonomi kapitalis dan sosialis yang di adopsi Negara-negara muslim telah gagal, bahkan berakibat buruk bagi dunia Islam. Karena itu mereka mengarahkan gerakannya dalam reformasi kearah Islam dengan semboyan mereka “Al-Islam huw al-hil” (Islam adalah solusi).[9]
Hizb al-Tahrir  adalah salah satu kelompok gerakan Islam terkemuka yang menyeru untuk kembali kepada Islam dalam politik, ekonomi dan social budaya. Gerakan ini sudah bersifat internasional, tersebar ke berbagai negara termasuk Indonesia, walaupun di setiap negara yang tempat seringkali menimbulkan kontroversi.  Mereka memperjuangkan terwujudnya negara yang berdasar kepada Islam (khilafah) dan bersifat internasional, bukan negara-bangsa. Dalam merealisasikan tujuannya, Hizb al-Tahrir memilih bergerak di luar system karena beranggapan bahwa demokrasi dan pemilu adalah system kufur yang harus ditolak. Hal ini berbeda dengan Al-Ikhwan al-Muslimin yang dalam merealisasikan cita-citanya mereka masuk dalam system politik yang ada dan berusaha ikut pemilu.
Berbicara tentang Hizb al-Tahrir tidak bisa dipisahkan dengan sosok Taqyudin al-Nabhani, pendiri sekaligus pemimpin pertama Hizb al-Tahrir. Bahkan banyak pengamat yang mengatakan bahwa Hizb al-Tahrir adalah Taqyudin al-Nabhani dan al_Nabhani adalah Hizb al-Tahrir itu sendiri. Hal ini karena hampir 100% konsep ideologi, pemikiran dan gerakan Hizb al-Tahrir dibangun oleh al-Nabhani.
Sebagai ideolog Hizb al-Tahrir, Al-Nabhani banyak menulis tentang konsep pemerintahan, politik ekonomi dan sosial budaya yang akan diterapkan pada negara khilafah yang mereka perjuangkan. Konsep-konsep tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya, baik dalam bentuk buku maupun artikel-artikel yang disebarluaskan oleh Hizb al-Tahrir.
Artikel sederhana ini berusaha mengkaji salah satu sisi pemikiran al-Nabhani, yaitu pemikiran ekonomi. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep ekonomi Negara yang diperjuangkan oleh al-Nabhani dengan Hizb al-Tahrir-nya, kemudian berusaha untuk menganalisanya dengan konsep maqasid shariah. Maqasid al-Shariah dijadikan alat uji bagi pemikiran ekonomi al-Nabhani karena ia merupakan jembatan penyambung antara teks-teks klasik dengan realitas kontemporer.
B.       BIOGRAFI AL-NABHANI
Nama lengkapnya adalah Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf Al Nabhani, dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, orang Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim yang termasuk wilayah Haifa di Palestina Utara. Ia dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayahnya, seorang pengajar ilmu-ilmu syari’ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Disamping itu, dia juga dibimbing dan diasuh oleh kakeknya, Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani; seorang qadhi, penyair, sastrawan, dan ulama besar.
Sedang pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di daerahnya. Setamat dari sekolah dasar tersebut al-Nabhani melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah di Akka, namun sebelum tamat, dia telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di Al Azhar.  setamat dari Tsanawiyah (SMU) Al-Azhar pada tahun 1928 dia melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar dan Kulliyah Darul Ulum  secara bersamaan dan tamat pada tahun 1932.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Al-Nabhani kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Aktivitas mengajar ini dia jalankan dari tahun 1932-1938. Pada tahun 1938 dia beralih profesi dengan  berkarya di lapangan Peradilan. Hal itu karena beliau memandang bahwa pendidikan dan semua aktivitas yang terkait dengan kurikulum telah banyak dipengaruhi Barat sehingga telah banyak menyimpang. Sebaliknya, bidang peradilan relatif lebih terjaga. Karenanya, dia mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah dan diterima sebagai sekretaris di Mahkamah Syar’iyah  Beisan, lalu dipindah ke Thabriya. Pada tahun 1940, dia diangkat sebagai Musyawir (Asisten hakim) hingga tahun 1945. Tahun 1945 dia diangkat menjadi hakim di Ramallah sampai tahun 1948. Pada tahun 1948 dia eksodus ke Syria sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Israel. Pada tahun 1948 itu pula, dia diminta agar kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai hakim di Mahkamah Syar’iyah Al Quds. Kemudian diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf  dan mengundurkan diri tahun 1950 karena mencalonan diri pada Pemilu untuk menjadi anggota parlemen, tetapi dia gagal.
Setelah gagal dalam pemilu, pada tahun 1951 dia pindah ke Amman, Yordania. Di sana dia mengajar di Fakultas Ilmu-ilmu Islam (Al-Kulliyah al-Ilmiyyah al-Islâmiyyah) sampai tahun 1953. Pada tahun 1953 dia berhenti mengajar dan menyibukkan diri dalam Hizb Tahrir, yang telah dia rintis pendiriannya sejak tahun 1949. Publikasi pembentukan partai ini secara resmi tersiar tahun 1953, pada saat Al-Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu, dengan kantornya di al-Quds. Akan tetapi Departemen Dalam Negeri Yordania ternyata tidak member izin dan melarangnya untuk melakukan aktivitas. Hizb lalu dilarang untuk melakukan kegiatan apa pun. Sejak saat itu –dan bahkan sampai saat ini– Hizb tidak dibolehkan melakukan aktivitas dan segala aktivitasnya pun dilarang.
Namun demikian, al-Nabhani tetap bersiteguh untuk melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah beliau tetapkan sebagai asas-asas bagi partainya. Oleh karena itu, dia kemudian menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan yang baru bagi Hizb, di mana dia sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dia menjalankan aktivitasnya secara berpindah-pindah karena dimusuhi oleh pemerintah. Pada November 1953, dia berpindah ke Damaskus dan menyebarkan dakwahnya di sana. Kemudian, atas bantuan Mufti Lebanon, al-Nabhani diizinkan masuk ke Lebanon dan menyebarkan pemikirannya dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai membatasi ruang geraknya karena merasakan bahaya dari pemikiran dan aktivitasnya. Akhirnya, dia berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan agar leluasa menjalankan kepemimpinan Hizb al-Tahrir.Dia terus memegang kepemimpinan Hizb Tahrir sampai wafatnya beliau pada 1398 H/1977 M.[10] dan dimakamkan di pemakaman al-Awza’I Beirut.
Di bawah kepemimpinannya, Hizb al- Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambil-alihan kekuasaan (kudeta) di beberapa Negara Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan di Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan.
Dia telah meninggalkan banyak karya ilmiah penting yang jumlahnya lebih dari 30 buah, disamping artikel-artikel yang disebarluaskan oleh Hizb al-Tahrir. Dialah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizb al-Tahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, maupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial. Inilah yang mendorong sebagian peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah Taqiyyuddin An Nabhani. Karya-karya Taqiyyuddin al-Nabhani yang paling terkenal antara lain: Nizam al-Islam, Al-Takattul al-Hizbiy, Al-Nizam al-Iqthishady fi al-Islam, Al-Nizam al-Ijtima’iy fi al-Islam, Nizam al-Hukm fi al-Islam, Al-Dustur, Muqaddimah al-Dustur, Al-Dawlat al-Islamiyah, Al- Shakhsiyah al-Islamiyah (3 jilid), Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, Nazarat Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, dll.[11]
C.      POKOK-POKOK PEMIKIRAN EKONOMI AL-NABHANI
Pemikiran dan konsep ekonomi al-Nabhani tertuang dalam beberapa karyanya, terutama dalam buku al-Nizam al-Iqthishady fi al-Islam, al-Dawlat al-Islamiyah dan Muqaddimah al-Dustur. Pemikirannya tentang ekonomi tidak lepas dari gagasan besarnya yaitu pendirian khilafah islamiyah (Negara Islam yang bersifat internasional). Dalam bukunya al-Dawlat al-Islamiyah, dia telah merancang sebuah Undang-Undang sebagai konstitusi negara (Dustur) yang diperjuangkannya. Rancangan undang-undang tersebut terdiri dari 187 pasal, 47 pasal diantaranya tentang ekonomi, yaitu mulai pasal 111 sampai 157.[12] Rancangan Undang-undang (Dustur) tersebut dijelaskan secara panjang lebar dalam bukunya Muqaddimah al-Dustur. Karena itu pemikiran ekonomi al-Nabhani disini, penulis ambil dari buku Muqaddimah al-Dustur dan al-Nizam al-Iqthishady fi al-Islam. Berikut beberapa pemikiran ekonomi al-Nabhani yang terpenting:
1.      Masalah dasar Ekonomi.
Menurut al-Nabhany, masalah dasar ekonomi dalam Islam adalah distribusi harta dan manfaat kepada semua individu /anggota masyarakat serta memberikan kemampuan kepada individu untuk memperoleh dan dapat memanfaatkan harta tersebut. [13] menurutnya, masalah dasar ekonomi bukanlah kelangkaan (scarcity) sebagaimana paham ekonomi konvensional, juga bukan pada produksi.
Al-Nabhani mendasarkan pandangannya ini dengan teks-teks baik al-Qur’an maupun hadis yang berkenaan dengan fakir, miskin dan ibnu sabil yang sangat banyak, bermacam-macam redaksinya serta berulang-ulang, sehingga menunjukkan pentingnya masalah ini. Teks-teks yang mewajibkan dan mendorong untuk memberikan sebagian harta kepada mereka yang tidak mampu dan terpinggirkan tersebut menurut al-Nabhani menunjukkan secara jelas bahwa masalah dasar ekonomi adalah kemiskinan individu bukan kemiskinan Negara, yang berarti masalah ekonomi adalah distribusi kekayaan bukan produksi (kelangkaan).[14]
Pandangan al-Nabhani ini kalau dirunut dalam khazanah pemikiran ekonomi Islam, ternyata sama dengan madzhab dipegang oleh beberapa pemikir muslim, seperti Baqir al-Sadr, Kadim al-Sadr dan Abbas Mirakhor, yang dikenal dengan madzhab iqtisaduna, yang berpandangan bahwa permasalahan utama ekonomi sesungguhnya bukanlah scarcity, melainkan distribution (distribusi). Pandangan kelompok ini dapat dikatakan berbeda secara diametral dengan pandangan konvensional. Menurut mereka sumber daya ekonomi yang terdapat di alam semesta ini sangat banyak dan relatif tidak terbatas, sementara kebutuhan manusia sesungguhnya terbatas. Dengan kata lain-lain, unlimited resources berhadapan dengan limited wants. Menurut mereka, Islam tidak mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas, sebab alam semesta ini maha luas. Allah swt telah menciptakan alam semesta yang tiada terhingga luasnya, sehingga jika manusia mampu memanfaatkannya niscaya tidak akan pernah habis. Saat ini manusia baru mengeks­ploitir sebagian (kecil) dari sumber daya ekonomi yang ada di bumi.
Baqir al-Sadr menafsiri ayat pada surat Ibrahim ayat 33-34 menyatakan bahwa Allah swt telah menyiapkan alam semesta yang luas ini untuk kemaslahatan dan kemanfaatan manusia, menyiapkan  sumber-sumber penghidupan yang cukup untuk keberlangsungan hidup dan kebutuhan materialnya. Tetapi manusialah yang menyia-nyiakan kesempatan dan nikmat yang diberikan Allah kepadanya, dengan kedzaliman dan kekufurannya atas nikmat Allah. Dua hal inilah yang menjadi sebab asasi bagi masalah ekonomi dalam kehidupan manusia. Kedzaliman manusia terwujud pada buruknya distribusi, sedang  kekufuran (pengingkarannya) atas nikmat Allah swt terimplementasi pada kemalasannya untuk mengelola sumberdaya alam dan mengembangkannya.[15]
Pendapat di atas dibantah oleh madzhab mainstream / mayoritas, misalnya M. Umer Chapra, M. Nejatullah Siddiqi, M. Abd Mannan dan Martan. Madzhab ini menganggap bahwa scarcity (kelangkaan) tetap merupakan masalah utama dalam perekonomian, dalam arti produksi juga merupakan masalah dasar ekonomi. Menurut mereka, secara parsial atau lokal sangat mungkin terjadi kelangkaan sumber daya ekonomi, meskipun secara keseluruhan (alam semesta) terjadi keseimbangan. Pada suatu masa tertentu, kadang seseorang atau suatu masyarakat tertentu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya, walaupun tersedia secara melimpah bahan mentah, tersedia tangan-tangan terampil serta  tersedia modal materi. Masih dibutuhkan waktu yang cukup untuk memilih cara produksi yang terbaik dan untuk mengambil keputusan untuk produksi dan distribusi. Bahkan seringkali bahan mentah masih perlu diolah lagi agar bisa memberikan kontribusi bagi produksi  barang dan jasa. Dengan demikian kelangkaan secara relative atas barang dan sumber daya merupakan satu diantara dua masalah ekonomi, sedang masalah satunya adalah distribusi. Hal ini bukan saja karena realitas dalam kehidupan, tetapi juga karena Islam menjadikan kelangkaan relative ini sebagai sarana untuk mendorong kerja dan memakmurkan bumi, sebagaimana Islam menjadikannya sebagai sarana ujian dan cobaan bagi manusia. Dengan demikian munculnya kelangkaan secara relative (nisbi) tidak bertentangan sama sekali dengan melimpahnya sumberdaya yang diturunkan Allah swt dan diberikan kepada manusia.[16]
Pandangan bahwa masalah ekonomi adalah distribusi, sebagaimana pendapat al-Nabhani dan madzhab Iqtisaduna, merupakan pengaruh paham ekonomi sosialisme. Pandangan ini mengedepankan konsep keadilan distribusi sebagai motor penggerak ekonomi. Mereka mengesampingkan faktor produksi sebagai salah satu sarana utama pembangunan ekonomi, sehingga usaha-usaha untuk memperbaiki produksi baik secara kualitas maupun kuantitas dengan peningkatan penguasaan teknologi dan pengetahuan modern agak diabaikan. Hal ini pada gilirannya akan menjadikan negara tertinggal secara ekonomi dengan negara lain (Barat). Dalam kata lain, jika pemerintah negara Islam memakai konsep yang diajukan oleh al-Nabhani, negara Islam memang akan berkeadilan secara distribusi tetapi akan terbelakang secara ekonomi, adil tetapi tidak maju. 
2.      Kepemilikan dan Nasionalisasi (al-ta’mim)
Dalam pandangan al-Nabhani, pemilik mutlak dari seluruh alam semesta adalah Allah, sementara manusia hanya mengemban amanah-Nya. Manusia diberikan hak untuk memiliki dan menguasai alam semesta sepanjang sesuai dengan cara perolehan dan cara penggunaan yang telah ditentukan oleh Allah. Bagi seorang muslim harta merupakan amanah Allah, yang dipercayakan kepada manusia. Hak kepemilikan manusia diperoleh dari izin Allah swt dengan jalan istikhlaf.
Al-Nabhani membagi hak milik menjadi tiga, yaitu: hak milik individu (al-milkiyah al-fardiyah/private ownership), hak milik umum (al-milkiyah al-’ammah/public ownership) dan hak milik negara (milkiyah al-dawlah/state ownership). Hak milik individu adalah izin syara’ (Allah) kepada individu untuk mengambil sesuatu atau memanfaatkannya. Hak milik umum adalah  izin syara’ (Allah) kepada jamaah (kelompok) untuk berserikat secara bersama-sama dalam mengambil sesuatu atau memanfaatkannya. Sedang hak milik negara adalah semua harta yang pendayagunaannya tergantung kepada pendapat dan ijtihad pemimpin negara. [17]
Al-Nabhani membatasi hak milik umum pada tiga jenis harta, yaitu: harta yang merupakan fasilitas umum, bahan tambang yang tidak terbatas dan sumber daya alam yang sifatnya menghalangi untuk dimiliki oleh individu/perorangan seperti sungai. Selain ketiga karakter harta di atas tidak boleh dijadikan hak milik umum, walaupun atas nama maslahat bersama.[18]
Berdasar ketentuan di atas, al-Nabhani berpendapat bahwa Negara tidak boleh melakukan nasionalisasi (al-ta’mim) harta milik pribadi warga negaranya menjadi harta milik umum atau milik negara. Hal ini karena hak milik umum itu menurut watak dan sifat harta, bukan karena pendapat Negara/pemimpin. Negara tidak boleh mengambil harta milik individu untuk menjadi milik Negara atau milik umum dengan alasan maslahat. Dalam hal ini, al-Nabhani mendasarkan pada keumuman hadis larangan mengambil harta orang lain kecuali dengan kerelaan dari yang punya, dan tidak boleh melakukannya atas nama maslahat atau merealisasikan kemaslahatan masyarakat, karena maslahat tersebut bertentangan dengan nas hadis dan juga merealisasikan kemaslahatan masyarakat adalah berdasarkan hukum-hukum syariah, bukan berdasar pendapat pemimpin Negara (pemerintah). Karenanya Negara tidak boleh melakukan nasionalisasi hak milik pribadi secara paksa atas nama maslahat walaupun harganya dibayar oleh Negara.[19]     
Pendapat al-Nabhani ini bersumber dari pemaknaan teks yang tidak dikaitkan dengan maqasid shariah. Akibatnya tentu banyak sandungan bagi Negara dalam membangun ekonominya, karena bisa jadi kemaslahatan umum menuntut pengambilan hak milik pribadi menjadi milik umum atau Negara, seperti penggusuran untuk pembangunan jalan baru karena jalan yang lama dianggap tidak memadai dan lain sebagainya. Pendapat ini juga bertentangan dengan praktek pemerintahan dalam sejarah Islam, yang mana khalifah Umar bin Khattab pernah membeli secara paksa rumah-rumah penduduk untuk perluasan masjid al-haram, karena mereka menolak menjualnya secara sukarela kepada pemerintah. Begitu juga pada masa Usman bin Affan jumlah jamaah masjid al-haram semakin banyak sehingga masjid tidak mencukupi, karena itu Usman berniat memperluas masjid dengan membeli rumah-rumah penduduk di sekitarnya, bagi sebagian penduduk yang menolak tetap dibeli dengan paksa.[20]
Pendapat al-Nabhani yang menolak nasionalisasi hak milik pribadi walaupun untuka kemaslahatan umum bertentangan dengan pendapat mayoritas ekonom muslim dan ahli fiqh kontemporer, baik atas nama pribadi maupun lembaga. Majma’ al-Fiqh al-Islamy, misalnya, dalam muktamarnya yang keempat di Jeddah 6 – 11 Pebruari 1988 memutuskan atas kebolehan hal ini untuk kemaslahatan umum dengan syarat menjaga ketentuan dan syarat-syarat syar’i.[21] 
3.      Tasarruf dan transaksi muamalah
Tasarruf individu atas hak miliknya baik perbuatan maupun perkataan dibatasi dengan izin syara’ atasnya. Dalam hal ini al-Nabhani berpendapat bahwa syariah telah membuat aturan dan tata cara tertentu dalam transaksi muamalah seperti jual-beli, sewa-menyewa serta mengharamkan selainnya. karena itu ia membatasi transaksi-transaksi muamalah yang dibolehkan hanyalah yang diizinkan oleh syariah.[22] Dengan demikian, walaupun tidak secara gamblang dijelaskan dalam tulisannya, namun menurut penulis al-Nabhani berpendapat bahwa hukum asal dalam muamalah adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya sebagaimana ibadah.
Pandangan al-Nabhani ini merupakan pandangan madzhab Dhahiri dan berbeda dengan pandangan yang masyhur dalam kajian fiqh dan ushul fiqh. Mereka mendasarkan pada kaidah al-istishab al-asliyah, yang menyatakan bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah halal/boleh selagi tidak ada dalil yang menunjukkan hukum yang berbeda dari hukum asal tersebut (al-asl fi al-muamalah al-ibahah hatta ya`ti al-dalil ‘ala tahrimih.).[23] 
 Begitu juga dalam menerapkan syarat-syarat keabsahan transaksi, yang ia anggap sebagai tasarruf qawliyah, bersandar kepada pemahaman klasik atasnya. Dengan pemahamannya ini ia mengharamkan syirkah musahamah (perusahaan  yang go public dengan menjual sahamnya di pasar). System perseroan ini oleh  al-Nabhani dianggap tidak memenuhi syarat perseroan dalam Islam sehingga hukumnya batil. Al-Nabhani berpendapat bahwa orang berserikat harus dengan ijab-qabul antara masing-masing pihak, sedang pada perseroan ini, orang bisa serta merta menjadi serikat dengan hanya membeli saham, tanpa ada kesepakatan akad (ijab-qabul) yang bersifat qawly (ucapan), dimana tindakan tersebut hanya lahir dari aktivitas seseorang, bukan dari aktivitas modal. Sehingga pengembangan kepemilikan tersebut harus dari pemilik tindakan, yaitu manusia, bukan dari modalnya. Padahal dalam perseroan ini menjadikan modal berkembang dengan sendirinya tanpa pengelolaan pemiliknya, karena pesero tidak berhak ikut serta mengelola perusahaan, sebab pengelolaannya hanya menjadi hak milik pribadi peseroan. [24]
4.      sewa tanah
al-Nabhani berpendapat bahwa menyewakan tanah pertanian hukumnya adalah haram secara mutlak, baik pemiliknya memiliki lahan dan kegunaannya sekaligus maupun hanya memiliki kegunaan saja. Begitu pula, baik sewa-menyewa tanah dengan uang, makanan maupun dengan sebagian hasil dari tanah tersebut ( muzara’ah). Dalam hal ini al-Nabhani berpedoman dengan teks-teks hadis yang melarang sewa-menyewa tanah yang jumlahnya banyak dengan redaksi yang berbeda-beda.[25]
Memang dalam masalah ini sejak dulu terjadi kontroversi dikalangan berbagai madzhab. Sebagian mereka yang melarang sewa tanah diantaranya Tawus dan Ibn Hazm al-Dhahiri, dan pendapat inilah yang dipegang oleh al-Nabhani. Mereka mendasarkan pendapatnya pada teks-teks hadis yang melarang secara mutlak, serta beralasan bahwa dalam akad tersebut terdapat gharar (ketidak jelasan). Sedangkan jumhur ulama’ membolehkan sewa tanah, namun mereka berbeda dalam rinciannya. Ada yang membolehkan sewa tanah secara mutlak, dalam arti baik dengan uang maupun dengan sebagian hasil tanah tersebut semuanya boleh, ini adalah pendapat madzhab hanafi. Sebagian madzhab membolehkan sewa tanah dengan uang tetapi tidak membolehkan muzara’ah. [26]
Mayoritas ahli fiqh yang membolehkan sewa tanah berbeda-beda pendapatnya tentang hadis larangan sewa. Sebagian mereka mengatakan bahwa hadis yang melarang sewa tanah tersebut tidak dimaknai haram, tetapi dibawa kepada hokum makruh, karena ada hadis-hadis lain yang membolehkannya. Atau mereka memaknai sewa yang diharamkan dalam hadis adalah yang terdapat jahalah atau gharar (ketidak jelasan).[27] Sebagian mereka berpendapat bahwa pelarangan sewa tanah dan muzaraah dalam hadis tidak bersifat umum, tetapi hanya berkaitan dengan kontrak-kontrak yang berisikan klausal-klausal yang tidak adil. Sedang tafsiran lain mengatakan bahwa larangan tersebut tidak menyatakan sebagai hokum legal, tetapi hanya mengajak orang untuk membagi kelebihan tanah dengan orang lain sebagai bentuk perbuatan ihsan.[28]
5.      Harta wajib zakat
Al-Nabhani berpandangan bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah terbatas pada harta-harta yang disebutkan oleh teks-teks al-Qur’an dan hadis dan dijelaskan nisab dan kadarnya. Sedang harta-harta yang tidak disebutkan oleh syara’ maka tidak wajib dizakati dan amil zakat tidak boleh mengambil zakat darinya. Menurutnya, zakat hanya diambil dari sepuluh jenis harta yang disebut dalam hadis sahih, yaitu: onta, sapi, kambing, emas, perak, gandum khintah, gandum sha’ir, kurma, zabib (anggur kering) dan jagung. Karena itu tidak ada zakat pada harta-harta berkembang dan berharga yang popular pada saat ini seperti mobil, apartemen, beras/gabah, permata dan harta-harta lainnya.[29] 
Pendapat al-Nabhani –sebagaimana madhhab al-Dhahiri- hanya berpatokan pada literal teks, tanpa melihat maqasid al-shariah dari teks-teks tersebut. Pemahaman ini – mengutip pendapat Yusuf al-Qardhawi- berbahaya dan sangat merugikan. Disamping jauh dari prinsip keadilan, yang mana banyak harta yang sama berharganya atau bahkan lebih berharga dari yang disebutkan dalam teks hadis tidak dikenai zakat. Pendapat ini juga mempersempit penerimaan zakat kaum muslimin, sehingga mengurangi total dana sosial umat Islam.[30]

6.      Pajak
Pemerintah –menurut al-Nabhani- boleh menarik pajak untuk memenuhi kebutuhan Negara (bayt al-mal). Namun kebolehan penarikan pajak tersebut hanya kepada kaum muslimin, tidak boleh sama sekali menarik pajak kepada non muslim (dzimmi), karena yang boleh diambil dari mereka hanya jizyah. Al-Nabhani berdalil bahwa khitab dalam kewajiban berjihad, belajar, member makan orang miskin dan anak yatim serta kewajiban menghilangkan bahaya atas kaum muslimin adalah umat Islam, sedang non muslim tidak ada kewajiban atas mereka. Karena itu mengambil pajak dari non muslim berarti mengambil harta yang tidak diwajibkan oleh Allah swt yang berarti kezaliman atau mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah sehingga tidak boleh.[31]
Hujjah al-Nabhani dalam pengecualian penarikan pajak dari non-muslim dari kebolehan adalah lemah, karena kemaslahatan penarikan pajak tidak hanya terbatas kepada umat Islam semata, tetapi kemaslahatan non muslim sesama warga Negara. Ia bertentangan dengan semangat kebersamaan dalam membangun Negara sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw dalam piagam Madinah. Dalam piagam tersebut tertulis bahwa penduduk Madinah baik muslim maupun non-muslim bahu membahu membela Madinah jika ia terancam bahaya, termasuk bahaya ekonomi. Jika non muslim tidak boleh dikenai pajak karena mereka tidak terkena hukum syariah, tentu konsekuensinya pemerintah tidak boleh melarang mereka berbuat zina, minum minuman keras dan lain-lainnya yang merusak masyarakat, karena mereka tidak berkewajiban untuk menjauhi hal-hal tersebut. Tentu Negara akan kacau!    


7.      Al-Tas’ir (pematokan harga oleh pemerintah)
Yang dimaksud dengan al-tas’ir (penetapan harga oleh pemerintah)  adalah bahwa pemerintah atau penguasa memberlakukan keputusan kepada kaum muslimin agar mereka menjual barang-barang dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah, tidak boleh menaikkan atau menurunkannya, demi kemaslahatan umum. Al-Nabhani berpendapat bahwa al-tas’ir ini adalah tidak boleh dan haram secara mutlak dilakukan oleh pemerintah muslim. Dalam hal ini al-Nabhani mendasarkan pada hadis Rasulullah saw yang tidak mau melakukannya pada saat harga membumbung tinggi.[32]  
Memang dalam khazanah pemikiran ekonomi Islam terdapat dua madhhab dalam menyikapi tas’ir.  Mereka yang melarang tas’ir selain berpedoman kepada dhahir hadis Nabi saw yang tidak mau melakukannya, juga sebagai kelanjutan dari kebebasan bertasarruf dan bertransaksi yang didakwahkan oleh ekonomi Islam serta menjauhkan campurtangan pemerintah yang membatasi kebebasan saling ridha dalam jual beli.
Sedang mereka yang membolehkan tas’ir dan campur tangan pemerintah dalam pasar -bahkan mewajibkannya- jika dituntut oleh kemaslahatan umum, mendasarkan pendapatnya pada hal-hal berikut: pertama, meninggikan harga di pasar merupakan kedzaliman yang wajib dihilangkan oleh pemerintah, dan tas’ir adalah salah satu cara untuk menghilangkannya; kedua, Kaidah fiqhiyah menetapkan bahwa sesuatu yang menjadi sarana kepada yang wajib maka hukumnya wajib, sehingga tas’ir bisa menjadi wajib jika menjadi sarana merealisasikan kewajiban yaitu menghilangkan kedzaliman dari masyarakat; ketiga, Tas’ir merupakan politik ekonomi yang menjadi Sad al-Dhari’ah bagi kejahatan perdagangan seperti eksploitasi pedagang atas kebutuhan atau ketidaktahuan masyarakat, penimbunan dan lainnya.[33]      
Menanggapi tentang ketidakmauan Rasulullah saw dalam melakukan tas’ir, para ulama’ yang membolehkannya menyatakan bahwa pada masa Rasul kenaikan harga di pasar terjadi karena kondisi alami, yang mana barang langka di pasar bukan akibat perilaku pedagang. Sedang jika kenaikan harga atau kelangkaan barang di pasar diakibatkan oleh perilaku pedagang yang curang atau penimbunan, maka tas’ir dibolehkan, bahkan wajib dilakukan.

D.      MENIMBANG PEMIKIRAN EKONOMI AL-NABHANI DENGAN KONSEP MAQASID SYARIAH
Allah swt ketika membuat syareat Islam (aturan-aturan Islam) mempunyai tujuan, yang tujuan tersebut oleh para ulama disebut dengan maqasid al-shariah. Para ulama’ memaknai maqasid shariah dengan: Tujuan-tujuan yang mana hukum-hukum dan aturan-aturan Allah swt ditetapkan demi merealisasikannya. Maqashid shariah tersebut adalah kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akherat, dan baik perealisasiannya melalui jalb al-manafi’ (menarik manfaat) maupun melalui dar’ al-mafasid (menolak kerusakan/kemadharatan).[34]
Maqasid itu adakalanya bersifat dharuriyah, hajiyah maupun tahsiniyah. Dharuriyah adalah sesuatu yang harus ada atau terlaksana dalam menegakkan maslahat agama dan dunia yang mana jika tidak ada atau tidak terlaksana maka kemaslahatan dunia tidak akan terlaksana, bahkan terjadi kerusakan dan kekacauan. Hajiyah adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk kemudahan dan menghilangkan kesempitan hidup yang sering mengakibatkan masyaqqah tetapi tidak sampai kepada kerusakan pada kemaslahatan umum. Sedang tahsiniyat adalah melakukan atau mengambil keputusan untuk sesuatu yang layak untuk kebaikan umum dan menjauhi kondisi-kondisi yang tidak baik menurut akal sehat baik secara ekonomi, sosial politik, perilaku dan moral yang baik. Atau ia didefinisikan sebagai suatu kemaslahatan yang tidak termasuk dharuriyat dan hajiyat (kebutuhan umum) tetapi untuk menarik kehormatan atau menolak sesuatu yang merusaknya.[35]
Menurut penelitian para ulama’ klasik, al-maqasid al-dharuriyah dalam membuat syareat Islam terangkum dalam penjagaan lima hal pokok dalam kehidupan, yaitu: menjaga agama (hifd al-din), menjaga jiwa (hifd al-nafs), menjaga akal (hifd  al-‘aql), menjaga keturunan (hifd al-nasl) dan menjaga harta (hifd al-māl). Para ulama’ menyebutnya dengan al-kulliyah al-khomsah yang menurut mereka dianggap sebagai usul al-shariah dan merupakan tujuan umum dari pembuatan shariah tersebut.[36]
Pemahaman terhadap maqasid shariah ini sangat penting dalam membaca teks-teks agama, terutama dalam bidang muamalat dan kebiasaan. Dalam hal ini para ulama’ membedakan antara ranah ibadah dan ranah muamalah. Dalam ranah ibadah hukum asalnya adalah ta’abbud dan berpatokan pada nas, sedang dalam muamalah dan kebiasaan melihat kepada makna dan maqasid (al-asl fi al-ibadat al-ta’abbud duna al-iltifat ila al-ma’ani wa al-maqasid, wa fi al-mu’amalat al-iltifat ila al-ma’ani wa al-asrar wa al-maqasid).[37]
Dalam pembacaan teks-teks keagamaan dalam konteks maqasid shariah ini, Yusuf al-Qardhawi mengelompokkan umat Islam ke dalam tiga kelompok (madzhab), yaitu: pertama, madzhab tekstual yang oleh al-qardhawi disebut dengan madzhab Dhahiriyah kontemporer, yaitu mereka yang membaca teks-teks juz’i dengan pemahaman tekstual, dhahiriyah tanpa menyertakan tujuan dibalik teks-teks tersebut. Mereka ini merupakan penerus madzhab dhahiriyah klasik yang mengingkari ta’lil hukum dan mengaitkannya dengan tujuan (maqasid). Kedua, kelompok yang menekankan dan mengedepankan maqasid shariah dan mengesampingkan teks-teks juz’i. ketiga, kelompok moderat yang menggunakan maqasid shariah, namun juga tetap tidak melupakan teks-teks juz’i (parsial), sebaliknya mereka memahami teks-teks parsial tersebut dalam naungan maqasid, yaitu mengaitkan yang parsial dengan yang universal, menyambungkan cabang dengan induknya, menyambungkan yang bisa berubaha dengan yang tetap (thawabit).[38]     
            Jika kita meneliti pemikiran ekonomi al-Nabhani kemudian kita timbang dengan konsep maqasid shariah di atas, nampak jelas bahwa aliran pemikiran al-Nabhani dalam ekonomi tergolong dalam kelompok mereka yang mengesampingkan maqasid shariah dalam pembacaan teks, yang oleh Yusuf al-Qardhawi disebut dengan kelompok Dhahiriyah kontemporer. Hal ini tampak jelas pada pembacaan al-Nabhani pada ayat-ayat tentang problema-problem ekonomi di atas, semisal pemikiran tentang harta wajib zakat yang hanya terbatas kepada yang disebutkan teks al-Qur’an dan hadis, ketidak bolehan tas’ir,  keharaman nasionalisasi dan lainnya. Termasuk pada pemikiran-pemikiran yang tidak penulis jabarkan di atas.
Pembacaan literalis tanpa perspektif maqasid shariah ini sangat berbahaya dan merugikan Islam dan dakwah Islam itu sendiri. Pemahaman ini merusak citra Islam dikalangan cendekiawan kontemporer, di kalangan non muslim bahkan di kalangan awam umat islam sendiri.[39]   
E.       KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari deskripsi singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran ekonomi al-Nabhani dibangun berdasarkan pemahaman tentang teks-teks al-qur’an dan hadis secara tekstual dan mengesampingkan pembacaan berdasarkan maqasid shariah. Pengesampingan maqasid shariah tersebut tampak jelas dalam berbagai pendapatnya dalam politik ekonomi Negara yang dia kembangkan. Hal ini mengakibatkan konsep ekonomi Negara yang dia kembangkan bersifat kaku, kurang fleksibel menerima hal-hal baru yang bermanfaat dan lebih maslahat.
            Pergulatan pemikiran adalah suatu hal yang lazim dalam khazanah keilmuan Islam. Perbedaan pendapat antar umat islam tidak seharusnya menjadi sarana perpecahan umat. Kita serahkan hasil ijtihad mereka kepada niat ikhlas dan kesungguhan dalam usaha haraki mereka. Barangsiapa berijtihad kemudian ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, sedang barangsiapa berijtihad kemudian ijtihadnya salah maka baginya satu pahala. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA

Akram Khan, Muhammad. Ajaran Muhammad saw Tentang Ekonomi, terj. Rifyal Ka’bah. Jakarta: PT Bank Muamalat Indonesia, 1997.

al-‘Alim, Yusuf Hamid. al-Maqasid al-‘Amah li al-Shari’ah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Hadith, t.t.

Ayyub, Hasan. Fiqh al-Muamalat al-Maliyah fi al-Islam. Kairo: Dar al-Salam, 2003.

Esposito, John L. (ed). The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol. 4. New York: Oxford University Press, 1995.

al-Ghazaly, Abu Hamid.  al-Mustasfa fi ‘ilm al-Usul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.

Ibn Zughaybah ‘Iz al-Din, al-Maqasid al-‘Amah li al-Shari’ah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Safwah, 1996.

al-Khusariy, Ahmad. al-Siyasah al-Iqtisadiyah wa al-Nuzum al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 1986.
Markham, Ian. dan Abu Rabi’, Ibrahim M. (ed.). 11 September Religious Perspectives on The Causes and Consequences. Oxford: Hartford Seminary, 2002.

Martan, Sa’id Sa’d. Madkhal li al-Fikr al-Iqtisady fi al-Islam. Beirut: Muassasah al-Risalah,1996.

al-Mishri, Abdul Sami’. Pilar-pilar Ekonomi Islam, terj. Dimyauddin Djuwaini. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

al-Nabhany, Taqy al-Din. al-Dawlah al-Islamiyah. Beirut: Dar al-Ummah li al-Tiba’ah wa al-Nasr wa al-Tawzi’, 1994.

……….., Muqaddimah al-Dustur. tt:tt.

……….., Taqyudin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Terj. Moch. Maghfur Wahid. Surabaya: Risalah Gusti, 2002.

al-Qardhawi,  Yusuf. al-Hulul al-Mustawradah wa Kayf Janat ‘Ala Ummatina. Kairo: Maktabah Wahbah, 1993.

…………, al-Siyasah al-Shar’iyah fi Dhaw’ Nusus al-Shariah wa Maqasidiha. Kairo: Maktabah Wahbah, 1998.

al-Sadr, Muhammad Baqir. Iqtisaduna, Cetakan 3. Beirut: Dar al-Fikr, 1969.

al-Salus, Ali Ahmad. Mawsu’ah al-Qadaya al-Fiqhiyah al-Mu’asirah wa al-Iqtisad al-Islamy. Bilbis Mesir: Maktabah Dar al-Qur’an, 2002.

The Heritage Illustrated Dictionary of The English Language, Vol. 2. USA: Houghton Mifflin Company.

al-Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuh, Vol. 7. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2007.




[1] Ibrahim M. Abu Rabi’, “A Post-September 11 Critical Assessment of Modern Islamic History”, dalam Ian Markham dan Ibrahim M. Abu Rabi’ (ed.), 11 September Religious Perspectives on The Causes and Consequences, (Oxford: Hartford Seminary, 2002), 23
[2] Ibid., 23-25
[3] Tanzimat adalah suatu gerakan pembaharuan di Turki yang awalnya merupakan modernisasi di tubuh Turki Usmani, yang terpenting adalah modernisasi dalam kemiliteran dan kecenderungan die lit birokrasi untuk meniru gaya hidup kelas atas di Barat, akibat munculnya ketertarikan dikalangan elit Turki terhadap hal-hal yang dapat disebut sebagai masyarakat sipil Barat. Program Tanzimat ini dilakukan oleh Mustafa Rasyid Pasya dan Mehmed Sadik Rifat Pasya yang kemudian diikuti dengan lahirnya piagam Humayun yang berisi tentang kedudukan orang Eropa, Usmani Muda dan Turki Muda. Gerakan ini kemudian melahirkan pembaharuan yang dilakukan di bawah pimpinan Mustafa Kemal Attaturk. Lihat: John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol. 4 (New York: Oxford University Press, 1995), 183-185
[4] Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia, Vol. 3, 123
[5] The Heritage Illustrated Dictionary of The English Language, Vol. 2 (USA: Houghton Mifflin Company), 874
[6] Yusuf al-Qardhawi, al-Hulul al-Mustawradah wa Kayf Janat ‘Ala Ummatina (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), 52-55
[7] Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia, Vol. 3, 431
[8] Lihat misalnya: Yusuf al-Qardawi, al-Hulul al-Mustawradah wa Kayf Janat 'Ala Ummatina (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), 11-18   
[9] Ibid., 43-173
[10] Mengenai tanggal wafat beliau terdapat tiga pendapat:  Pertama, wafatnya pada 19 Muharam 1399 H atau 29 Desember 1977. Pendapat kedua mengatakan bahwa dia wafat pada 25 Rajab 1398 H atau 20 Juni 1977. Sedang pendapat ketiga yang menjadi penjelasan resmi Hizb at-Tahrîr menyatakan bahwa dia wafat pada 1 Muharam 1399 H atau 11 Desember 1977 M. Lihat: http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=423 diakses pada 14 Nopember 2010
[12] Taqy al-Din al-Nabhany, al-Dawlah al-Islamiyah (Beirut: Dar al-Ummah li al-Tiba’ah wa al-Nasr wa al-Tawzi’, 1994), 275-285
[13] Taqyuddin al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur (tt:tt), 272
[14] Ibid., 276
[15] Muhammad Baqir al-Sadr, Iqtisaduna, Cetakan 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), 307-308
[16] Sa’id Sa’d Martan, Madkhal li al-Fikr al-Iqtisady fi al-Islam (Beirut: Muassasah al-Risalah,1996), 63-64
[17] Al-Nabhani, Muqaddimah, 285-288
[18] Ibid., 326; al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Terj. Moch. Maghfur Wahid (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), 37
[19] Al-Nabhani, Muqaddimah, 329-330; al-Nabhani, Membangun, 244-245
[20] Abdul Sami’ al-Mishri, Pilar-pilar Ekonomi Islam, terj. Dimyauddin Djuwaini (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 78-79
[21]  Muktamar tersebut memutuskan ketentuan dan syarat nasionalisasi yang dibolehkan secara syar’I, yaitu: 1). pencabutan hak milik pribadi tersebut harus dengan ganti rugi yang tidak boleh kurang dari harga pasar; 2). dilakukan oleh pemerintah; 3). Nasionalisasi tersebut harus untuk kemaslahatan umum yang bersifat dharury atau kebutuhan umum; 4). Eksekusi pencabutannya tidak boleh tergesa-gesa sebelum waktunya. Jika salah satu ketentuan di atas tidak terpenuhi maka ia termasuk kedzaliman. Lihat: Ali Ahmad Salus, Mawsu’ah al-Qadaya al-Fiqhiyah al-Mu’asirah wa al-Iqtisad al-Islamy (Bilbis Mesir: Maktabah Dar al-Qur’an, 2002), 658-659 
[22] Al-Nabhani, Muqaddimah, 296
[23] Lihat misalnya: Abu Hamid al-Ghazaly, al-Mustasfa fi ‘ilm al-Usul (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 159-160
[24] Al-Nabhani, Muqaddimah, 297; Al-Nabhani, Membangun,173-180
[25] Al-Nabhani, Muqaddimah, 305; Al-Nabhani , Membangun,145-146
[26] Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuh, Vol. 7 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2007), 5024-5028
[27] Ibid., 5029
[28] Hasan Ayyub mengatakan bahwa larangan tersebut pada awal Islam karena kebutuhan, yang mana kaum muhajirin tidak mempunyai tanah, sehingga Rasulullah saw memerintahkan kaum Ansar untuk berbuat baik dan saling melapangkan rizki dengan kaum muhajirin. Lihat: Muhammad Akram Khan, Ajaran Muhammad saw Tentang Ekonomi, terj. Rifyal Ka’bah (Jakarta: PT Bank Muamalat Indonesia, 1997), 51; dan Hasan Ayyub, Fiqh al-Muamalat al-Maliyah fi al-Islam (Kairo: Dar al-Salam, 2003), 264 
[29] Al-Nabhani, Muqaddimah, 347-348
[30] Yusuf al-Qardhawi, al-Siyasah al-Shar’iyah fi Dhaw’ Nusus al-Shariah wa Maqasidiha (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), 242-244
[31] Al-Nabhani, Muqaddimah, 364-369
[32] Al-Nabhani, Membangun, 212-213
[33] Ahmad al-Khusariy, al-Siyasah al-Iqtisadiyah wa al-Nuzum al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamy (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 1986), 106-109
[34] Yusuf Hamid al-‘Alim, al-Maqasid al-‘Amah li al-Shari’ah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Hadith, t.t), 78
[35] Lihat misalnya: Ibn Zughaybah ‘Iz al-Din, al-Maqasid al-‘Amah li al-Shari’ah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Safwah, 1996), 61-217
[36] Lihat misalnya: al-Ghazali, al-Mustasfā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 174
[37] Al-Qardhawi, al-Siyasah, 272
[38] Ibid., 228-229
[39] Ibid., 230
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. GUS AFLACH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger