Home » » Konsep Pendidikan

Konsep Pendidikan

Written By Aflach Perdana Putra on Rabu, 19 Januari 2011 | 17.59

PENDAHULUAN
Kemauan dan rasa ingin tahu yang kuat adalah faktor penting dalam proses transformasi ilmiah. Sementara transformasi sebuah nilai membutuhkan variasi agar tidak menimbulkan kejenuhan pada peserta didik sebagai obyek pendidikan. Selain itu, untuk memudahkan proses transformasi nilai kepada peserta didik, diperlukan media pembelajaran, salah satu cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan emosional peserta didik adalah melalui media cerita atau qishshah.
Al-Qishshah dalam al-quran digunakan oleh Allah untuk menyampaikan keteladanan generasi terdahulu untuk diikuti oleh generasi yang akan datang, seperti firman Allah dalam QS. Al-Kahfi: 13:
“kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda yang beriman kepada Tuhannya dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk”.

Secara etimologi kata qashasha berarti mencari atau mengikuti jejak, tetapi jika dikontekskan dengan al-Quran, kisah berarti pemberitaan al-Quran tentang hal ihwal ummat, nubuwwah dan peristiwa yang telah terjadi di masa lampau, dan jika dikaitkan dengan informasi, kisah berarti berita yang berurutan.
Kisah di dalam al-Quran jika dilihat dari variasi muatannya, baik sebagai informasi maupun sebagai catatan sejarah atau peristiwa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
Kisah para Nabi yang menjelaskan bagaimana upaya mereka dalam menjalankan tugas sucinya.
Kisah keshalihan orang-orang yang belum diketahui status kenabiannya agar diteladani, dan kisah tokoh-tokoh durjana pada masa lalu agar diauhi dan tidak diikuti.
Kisah yang berhubungan dengan Rasul sebagai sunnah untuk diteladani.
Dari berbagai kisah tersebut, sebagian ada yang di ulang beberapa kali, diungkapkan dalam berbagai bentuk i’tibar (ungkapan) dengan tujuan yang berbeda antara satu kisah dengan kisah lainnya, dengan harapan kisah tersebut dapat ditangkap maknanya oleh orang yang mendengarnya kemudian dapat diamalkan dalam kehidupan nyata. Di samping mempunyai tujuan sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran tersebut menunjukkan betapa tingginya i’jaz al-Quran yang mampu menampilkan sesuatu dengan berbagai pola untuk menarik respon pendengarnya.
Dalam dunia pendidikan kisah merupakan salah satu media untuk menembus reluung jiwa manusia dalam menyapaikan nilai tanpa menimbulkan rasa jenuh, kesal, dan bisan sesuai dengan fitrahnya. Dalam proses pembelajaran tersebut , peserta didik disodori berbagai sejarah dan cerita, dengan harapan dari sejarah dan cerita tersebut mereka mampu membuat analog yang logis untuk kebaikan masa depannya.
Sistematika al-quran dalam penyampaikan kisah
Di antara metode yang digunakan oleh al-Quran untuk memberi pelajaran bagi manusia adalah dengan menggunakan peristiea-peristiwa pada masa lalu dalam bentuk kisah-kisah. Tujuan pengajaran berbagai kisah tersebut dapat berhasil dengan baik, jika pendidik lebih dahulu menjelaskan ayat Al-Quran dengan menyebutkan kandungan suatu kisah secara umum melalui beberapa kata secara singkat, setelah itu menguraikannya secara luas.
Ketika Al-Quran hendak menyampaikan pesan-pesan penting yang terdapat di dalam suatu kisah, al-Quran menggunakan kaidah di antaranya adalah dengan mengemukakan pernyataan tegas secara berjenjang, baik berisi penolakan maupun pengukuhan isi kisah. Kaidah ini menjadi penting karena dengan mengetahuinya, selain mendapatkan pelajaran dari kandungan kisah-kisah yang diceritakan, juga akan diketahui cara berbaik dalam menyampaikan pelajaran melalui penguraian kisah.
Suatu kisahyang disampaikan dengan metode sebagaimana yang ditempuh al-Quran akan menimbulkan kesan mendalam bagi para pembaca dan pendengarnya. Sebaliknya jika suatu kisah disampaikan dengan cara lain, akan sangat sulit memberikan perincian-perincian pesan yang hendak disampaikan dalam kisah panjang tanpa lebih dahulu memberikan ringkasan ceritanya.
Kisah: mediasi interprestasi
Al-Quran yang terdiri dari enam ribu ayat lebih, yang disosialisasikan dalam dua periode “makiyah dan madaniyah” sepertiganya berupa ayat hukum dan du pertiganya adalah kisah (cerita).
Dalam perspektif teori pendidikan, cerita atau kisah merupakan bentuk menyampaikan pesan penting terhadap anak didik tanpa harus menyertakan instruksi yang bermuatan keseriusan. Bahkan dengan kisah dapat membangkitkan imaginasi anak didik. Namun demikian, kita harus waspada terhadap kelemahan metode tersebut. Karena apabila disampaikan dalam suasana yang tidak sesuai dengan kecenderungan gaya belajar peserta didik, dapat menimbulkan kejenuhan dan tidak efektif.
Ada dua hal setidaknya yang perlu diperhatikan mengapa suatu kisah sering memberi efek negatif terhadap anak didik :
Kisah kebanyakan berkecenderungan dipahami secara bulat dan tidak didekati dengan sebuah interprestasi budaya dan waktu.
Sebagai konsekuensinya, hal tersebut akan menyebabkan kebukuan rasionalitas dan aktualitas akal. Kisah (dalam budaya dan model apa saja) selalu disertai dengan mitos serta bumbu-bumbu irrasional.
Oleh karena itu Mumammad Abduh sering melakukan interprestasi tentang cerita dari konteks cakupan historisitaslitasnya yang rasional. Dengan demikian diharapkan nilai pesan yang dititipkan oleh Tuhan lewat cerita tersebut dapat diterima oleh orang yang sebelumnya menolak nilai pesan tersebut.
Cerita rasional dan rasionalitas cerita
Sebagai umpan balik terhadap kisah yang akan disajikan kepada anak didik, hendaknya muatan yang dikandung oleh kisah harus sarat dengan nilai-nilai luhur yang diperlukan dalam pembentukan juwa anak didik. Di antara nilai-nilai luhur yang harus tercakup dalam komposisi muatan kisah tersebut adalah:
Kisah harus nyata
Kisah yang nyata, identik dengan sejarah, hanya saja sejarah akan lebih identik sebagai perpanjangan fakta yang terpotong oleh waktu dan zaman, sedang yang dikehendaki dengan “kisah yang nyata” di sini adalah kisah tersebut meskipun tidak disunahkan untuk menghaditskan dan menuliskan suatu fakta, tetapi palig tidak jangan sampai berseberangan dengan titik pandang rasional.
Kenyataan kisah
Suatu kisah sebelum disajikan, hendaknya harus lolos dari uji kelayakan yaitu “kenyataan kisah” falam kehidupan riil. Dalam hal ini jika terdapat faktor X yang menjadikan misteri antara historitas dan normativitas, berarti kita harus berani untuk membedah kisah tersebut dengan mendekonstruksi kembali dari bagian-bagian kisah yang tidak dapat menerima suatu kemungkinan dan kenyataan.
Sebagai contoh kisah dalam ayat yang telah disebutkan diatas, bahwa kata “menghidupkan orang yang telah mati atau terbunh” dalam kisah di atas tidaklah akan kita temukan secara tekstual dan faktual, bahwa Allah kan menghidupkan mayat yeng telah membangkai. Meskipun hal tersebut merupakan suatu hal yang mungkin dengan paradigma kekuasaan dan ke-Maha-an Tuhan yang dimiliki Allah. Tetapi bagaimana dengan sunatullah yang juga ditetapkan oleh Allah sendiri? Seperti dalam Qs. Al-Munafiqun:11:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabiladatang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Jangankan menghidupkan kembali, menunda atau menangguhkan saja tidak mungkin, sama halnya dengan menayangkan tayangan ulang vidio lama yang sudah kadarluwarsa. Jika kondisi antara kisah dan fakta saling antagonis, apakah mungkin kisah terssebut di ualanh kembali? Jika benar, maka penuturan tersebut laksana memutar kembali kaset kusut yang akan menyangkut pada mesin pemutar kaset yang akhirnya akan mengecewakan dan tidak memberikan kepuasan kepada pemirsa. Jika demikian, maka jalan yang harus ditempuh adalah mendekonstruksi kembali kisah tersebut dengan tidak mengambil alih topik atau trade mark dari suatu produk, yaitu dengan menyesuaikan klip rekaman produksi awal yang lokasi dan medannya sudah tidaj dikenali lagi oleh pemirsa diganti dengan back ground yang lebih fantantis dan romantis yang lebih memberi kesan kepada alur dan topik kisah tersebut.
Jika prolog tersebut diterima, maka kita akan berdialog bahwa kata ihyaa al mautaa dalam kisah tersebut bukanlah menghidupkan bangkai yang membusuk agar hidup kemabali. Tetapi yang dikehendaki adalah menjadi pertumpahan darah yang disebabkan oleh percekcok yaitu dengan menegakkan hukum dan peradilan yang legitimate yang dapat memberikan pelayanan dan terapi hukum yang sesuai dengan proses suatu peradilan yang adil dan terjerat oleh delik kriminal, maka harus diselesaikan secara adil dan tegas agar tidak menjalar dan ditiru oleh pelaku lainnya. Hal ini dapat direlasikan kepada ayat-ayat yang lain yang senada di antaranya adalah Qs. Al-Maidah: 32:

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Dan dalam Qs. Al-Baqarah: 2: 179:

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”
Dalam hal ini kata ihya’ (menghidupkan) sebagaimana makna kedua ayat tersebut adalah “Menormalisasikan tatanan hukum dalam bermasyarakat dan bernegara yang berkeadilan kepada hukum dan berhukum kepada pengadilan”.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. GUS AFLACH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger