Home » » Ekonomi Rakyat

Ekonomi Rakyat

Written By Aflach Perdana Putra on Rabu, 19 Januari 2011 | 20.05



Ekonomi Rakyat
A.    Pendahuluan
Perekonomian merupakan tulang punggung kehidupan masyarakat. Karena itulah Islam sangat melarang segala yang dapat merusak kehidupan perekonomian rakyat.[1] Islam sebagai satu-satunya agama yang paling sempurna memberikan kesejahteraan sepenuhnya kepada umatnya. Segala nikmat telah dicukupkan untuk bekal bagi umat Islam hidup di bumi ini. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya:Artinya: “Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S. Al-Maidah: 3)[2]

Ini berarti segala aturan dan hukum yang digariskan Islam telah dijamin sempurna. Islam mampu menjamin tercapainya kemakmuran hidup manusia dalam segala bidang, termasuk kesejahteraan ekonomi.[3]
Prinsip ekonomi yang dikatakan Al-Qur'an yang dikatakan alat produksi dan sumber daya alamiah yang mendukung kehidupan manusia telah disediakan oleh Tuhan. Dialah yang telah menciptakan berbagai benda itu sebagaimana adanya hukum alam agar bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk mengelola benda-benda itu dan Dia pula yang menyediakan semua itu untuk dimanfaatkan oleh manusia.
Al-Qur'an meletakkan prinsip dasar bahwa seseorang tidak berhak secara bebas mengambil dan mengeksploitasi sumber-sumber daya ini sekehendaknya, sebagaimana juga ia tidak berhak untuk menentukan garis pemisah antara haq dan bathil dengan seenaknya, ini semua merupakan hak Tuhan semata-mata bukan yang lain.[4]
Menurut Prof. Dr. JL. Mey Jr. dalam bukunya Leerbook Der Bedrilfe Economie, ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha manusia ke arah kemakmuran.[5] Tepat sekali prinsip Islam yang telah mengatur perekonomian umat manusia dengan memberikan kebebasan untuk memanfaatkan segala apa yang telah disediakan oleh Allah SWT di muka bumi ini. Di mana dalam pencapaian ke arah kemakmuran itu harus menjalankan fenomin-fenomin ekonomi, yaitu tiga macam aktifitas manusia berupa: produksi, konsumsi dan pertukaran.[6] Secara sederhana manusia dikatakan atau dikategorikan makmur menurut tujuan dan target ilmu ekonomi Islam adalah manusia yang mampu mencukupi pangan, sandang dan papan dalam hidupnya sehari-hari. Untuk itu Allah SWT telah memenuhi kebutuhan manusia dengan menghiasi dunia ini menjadi menurut pandangan manusia dengan menyediakan segala yang disenanginya, sebagaimana yang dijelaskan dalamal-qur’an ayat 14, surat Ali-‘Imran:
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q. S. Ali-‘Imran: 14)[7]

Skema ekonomi yang dikemukakan Al-Qur'an secara menyeluruh didasari ide kepemilikan oleh individu segala bidang yang mengusulkan diadakannya pemisahan antara barang-barang konsumtif dan barang-barang produktif (alat produksi), bahwa barang-barang konsumtif sajalah yang boleh menjadi milik pribadi, sedang barang-barang produksi harus dinasionalisasikan.[8] Berdasarkan Al-Qur'an ayat 10 surat al-Fushshilat:
Ÿ@yèy_ur $pkŽÏù zÓźuru `ÏB $ygÏ%öqsù x8t»t/ur $pkŽÏù u£s%ur !$pkŽÏù $pksEºuqø%r& þÎû Ïpyèt/ör& 5Q$­ƒr& [ä!#uqy tû,Î#ͬ!$¡¡=Ïj9 ÇÊÉÈ  
Artinya: “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Q.S. al-Fushshilat: 10)[9]

Al-Qur'an menghendaki pembagian secara merata diantara manusia sarana kehidupan di bumi dan mengumpulkan bahwa karena hal ini hanya bisa dicapai dengan nasionalisasi maka Al-Qur'an menyokong pengenalan sistem tersebut.[10]
Untuk memelihara keseimbangan ekonomi, manusia sangat dianjurkan untuk menghindari kekikiran dan kevaluban, serta menggunakan pendirian Tuhan untuk kebaikan, namun pada saat yang sama, menggunakan pemberian Tuhan untuk pembentukan, namun pada saat yang sama manusia diperingatkan agar tidak mengumbarnya dalam segala jenis pemborosan.[11]
Asas-asas ekonomi Islam sangat membenci praktek penguasaan harta benda yang hanya sepihak saja. Apabila praktek riba yang sangat mencekik orang lain dan dapat menjerumuskan terjatuhnya seseorang dalam kemiskinan yang sangat mendalam karena terjerat oleh riba dan bunga. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 275:
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 …….
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q. S. Al-Baqarah: 275).[12]

Oleh karena itu, sangat penting sekali penerapan sistem ekonomi Islam ini disosialisasikan dan diterapkan dalam kehidupan manusia di muka bumi. Dan sangat menarik untuk dikaji secara mendalam, karena penulis menilai bahwa sistem ekonomi Islam masih terasa asing di kalangan umum. Yang lebih penting lagi di kalangan ekonomi Islam mulai dilirik dan dikiblati oleh pelaku ekonomi sebagai kebijakan dalam menjalankan roda perekonomian yang ada.  

B.     Pemberdayaan Ekonomi Umat
Problematika umat yang paling menonjol terletak pada bidang ekonomi. Apabila disebutkan lebih rinci ini akan tampak bahwa problem ekonomi umat dewasa ini sekurang-kurangnya mencakup; tingkat penghasilan (riil) yang rendah, tingkat peran serta dan kemampuan bersaing yang rendah dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi nasional, tingkat pengangguran yang tinggi, keterbatasan kemampuan dalam mengelola kegiatan bisnis, keterbatasan kemampuan dalam mendayagunakan sumber-sumber informasi dan teknologi industri. Ketidakmerataan kemakmuran dan kesejahteraan hidup yang tinggi dan lain-lain. Problematika umat ini terbungkus rapi dan terselubungi di balik wajah kemiskinan dan kesengsaraan umat.[13]
Pemberdayaan ekonomi umat ini diartikan bahwa masyarakat punya kemandirian untuk berusaha mampu mengembangkan sumber daya manusianya untuk melakukan aktifitas secara mandiri, kreatif dan inovatif, tanpa mengalami ketergantungan pada orang lain. Hal ini juga didukung tidak hanya faktor SDM saja, tapi juga faktor eksternal di luar diri manusia berupa faktor lingkungan, iklim, ekonomi, alam, infrastruktur pemerintah dan sebagainya.
Dalam tingkat praktis, pemberdayaan ekonomi umat harus diwujudkan dalam masyarakat luas di berbagai sektor kehidupan, seperti pertanian, perdagangan, koperasi, usaha kecil dan sebagainya. Untuk ke arah pemberdayaan ekonomi umat, paling tidak ada enam langkah yaitu:
  1. Pelatihan Usaha
Lewat ini tiap peserta akan mendapatkan pendidikan yang berisi wawasan, pengetahuan tentang wirausaha secara menyeluruh baik secara teoritis maupun praktis.
  1. Pemagangan
Di sini peserta mempraktekkan pengetahuannya di perusahaan tertentu sehingga mendapat pengalaman langsung.

  1. Penyusunan Proposal
Proposal ini penting sekali dalam sebuah usaha yang acuannya. Ini bisa digunakan dalam menjalin kerjasama dengan pihak lain.
  1. Permodalan
Modal atau dana sangat penting dalam melancarkan aktifitas usaha. Modal harus dimiliki baik berupa uang atau milik sendiri.
  1. Pendampingan
Tahap ini, calon wirausahawan agar usahanya benar-benar dikuasainya.
  1. Jaringan Bisnis
Dengan jaringan yang kuat diantara pengusaha akan menjadikan ketahanan dan fundamental ekonomi negara akan kokoh.[14] 

C.    Upaya Peningkatan Kemandirian Ekonomi Rakyat
Para penggagas ekonomi kerakyatan ini berpandangan, bahwa pertumbuhan ekonomi umat harus diarahkan kepada kontribusi umat dalam memberikan kekuatan politik, di samping kekuatan ekonomi. Mereka berpandangan, bahwa perkembangan negara manapun akan melewati tiga fase: Nasionalisasi-pertanian, pertanian-industri, dan perdagangan. Di mana suatu negara tidak akan mempunyai kekuasaan yang hakiki, kecuali pada saat memiliki armada, koloni-koloni dan penduduk yang mempunyai kontribusi yang berbeda-beda. Di mana kekuatan produksi dengan perkembangan ekonomi harus menyatu, sebagai syarat utama adanya kekuatan politik. Mereka berpandangan, meskipun hubungan-hubungan perekonomian secara internasional muncul dari persaingan bebas, akan tetapi dalam hal ini masing-masing negara harus berlomba hingga sempurna dalam mengembangkan kekuatannya. Dan untuk mengaktifkan perkembangan tadi, harus ada proteksi industri.[15]
Peningkatan daya saing untuk memenangkan pacuan perdagangan di pasar dunia, dihasilkan oleh berbagai faktor, diantaranya: peningkatan kualitas SDM, penguasaan teknologi, dan penguatan kelembagaan. Seluruh kebijaksanaan ekonomi, baik makro maupun sektoral, baik moneter dan fiskal maupun di sektor riil, harus diarahkan dalam rangka yang demikian.
Persoalan yang lebih fundamental adalah, bagaimana nasib rakyat banyak dalam keseluruhan proses yang sedang berlangsung itu. Masalah ini mendapatkan perhatian yang serius karena di sini kita berbicara mengenai bagian terbesar rakyat Indonesia secara kuantitatif, gambaran tentang ekonomi rakyat ini dapat dikaji dari data statistik BI tahun 1995. Menurut data tersebut, jumlah pengusaha Indonesia mencapai 34,65 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 99,4% atau 34,45 ribu adalah pengusaha kecil, dan sisanya 0,6% atau 200 ribu adalah tergolong pengusaha besar atau menengah.[16]  


Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat
Untuk mengeliminasi dampak dari timpangan struktur perekonomian nasional, dan untuk memberdayakan industri kecil terutama memperbesar peranannya dalam struktur perekonomian nasional. Maka langkah-langkah berikut perlu dipertimbangkan sebagai strategi.
Pertama, peningkatan akses kepada asset produktif. Masalah yang mendasar dalam rangka perluasan iklim usaha dan pemberdayaan industri kecil ini adalah akses kepada dana. Akses kepada modal harus diartikan sebagai keterjangkauan, yang memiliki dua sisi; ada pada saat diperlukan dan di sisi lain dalam jangkauan kemampuan untuk memanfaatkannya. Dengan demikian, persyaratan teknis perbankan seperti yang biasa digunakan di sektor modern, tidak bisa diterapkan di sini, paling tidak pada tahap awal. Misalnya, penilaian pemberian kredit tidak harus berdasarkan agunan, tetapi berdasarkan prospek kegiatan usaha. Demikian pula penentuan tingkat suku bunga harus memperhatikan kondisi industri kecil yang senyatanya menguntungkan bagi usaha ekonomi rakyat ini. Selain itu, yang lebih penting dalam meningkatkan akses produksi adalah akses kepada teknologi. Akses pada teknologi ini terkait dengan peningkatan keterampilan teknik produksi, teknik pemasaran, dan teknik managerial. Karenanya, peningkatan pelatihan-pelatihan untuk memperkuat keterampilan tersebut bagi industri kecil sangat diperlukan.
Kedua, memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha antara industri kecil dan industri menengah atau besar. Peningkatan posisi tawar ini bisa dilakukan melalui pengembangan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan yang akan memperlancar pemasaran produknya. Selain itu, rakyat harus pula diorganisasikan untuk bersama-sama memasarkan hasil produksinya, sehingga sedikit banyak memperkuat posisinya. Wadah koperasi amat cocok untuk kegiatan ini, meskipun tidak satu-satunya. Yang terpenting lainnya adalah informasi pasar mengenai kecenderungan permintaan di pasar domestik maupun pasar internasional, harga, kualitas, standar, dan sebagainya. Sehingga tugas pemerintah tetapi juga tugas dunia usaha untuk turut membantu dan juga tugas masyarakat secara keseluruhan.
Ketiga, kebijaksanaan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri kecil. Proses industrialisasi harus mengarah ke pedesaan dengan memanfaatkan potensi setempat, yang umumnya adalah agro industri. Dalam proses itu jangan terjadi “penggusuran” ekonomi rakyat karena yang datang adalah industri berskala besar yang mengambil lahan subur, termasuk lingkungan, mengurus sumber daya, dan mendatangkan tenaga kerja dari luar, yang justru menyaingi ekonomi rakyat sendiri. Akibatnya adalah proses kemiskinan baru dan diciptakannya kesenjangan antara pendatang dan masyarakat setempat.
Keempat, kebijaksanaan ketenagakerjaan yang merangsang tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai cikal-bakal lapisan wirausaha baru, yang berkembang menjadi wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang. Dalam rangka itu secara luas harus disediakan pelatihan keterampilan teknis, manajemen dan perdagangan, termasuk pengetahuan mengenai pasar serta cara untuk memperoleh pendanaan. Bagi mereka harus disediakan sistem pendanaan seperti kredit yang diperingan syarat-syaratnya dalam bentuk modal ventura.
Kelima, adanya perangkat peraturan perdagangan yang benar-benar melindungi dan mendukung pengembangan industri kecil yang ditujukan khusus untuk kepentingan rakyat kecil. Munculnya UU No. 9/1995 tentang Usaha Kecil merupakan perwujudan dari komitmen itu. Namun tanpa diberlakukannya Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana, maka UU tersebut masih belum efektif untuk melindungi usaha kecil. Bahkan yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana UU anti monopoli segera diberlakukan, agar efisiensi ekonomi bisa terwujud.[17]


[1] Mahmud Abu Sa’ud, Garis-garis Besar Ekonomi Islam, Gema Insani Press, Cet. I Tahun 1991, Hal. 8
[2] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta, Tahun 1971, Hal. 157
[3] Mahmud Abu Sa’ud, Op.Cit, Hal. 7
[4] Abul A’la al-Maududi, M. M. Syarif, MA. BA. Dr. MA. Esensi Al-Qur'an Filsafat Politik Ekonomi Etika, Mizan, Cet. I Tahun 1984, Hal. 69
[5] Dr. Winardi, SE. Pengantar Ilmu Ekonomi, Tersita Bandung, Tahun 1988, Hal. 6
[6] Ibid, Hal. 7
[7] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an, Op.Cit, Hal. 77
[8] Abul A’la Al-Maududi, dkk. Op.Cit, Hal. 69
[9] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an, Op.Cit. Hal. 773
[10] Abul A’la al-Maududi, Op.Cit. Hal. 70
[11] Ibid. Hal. 83
[12] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an, Op.Cit. Hal. 69
[13] Adi Sasono, Didin Hafiduddin, KH. Drs, M. Sc. AM. Saefuddin, Dr. Solusi Islam atas Problematika Umat, Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah. Gema Insani Press. Cet. I. Jakarta, 1998. Hal. 59-60
[14] MPA 141, Januari 1998, Hal. 16
[15] Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti, Surabaya. Hal. 344
[16] Adi Sasono, Op.Cit. Hal. 18
[17] Adi Sasono, Op.Cit. Hal. 25-27
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. GUS AFLACH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger